Bicara dunia saat ini, tentu kita juga
akan dihadapkan dengan masalah globalisasi. Apalagi globalisasi saat ini sudah
masuk hampir ke semua aspek kehidupan, bukan hanya globalisasi di bidang
ekonomi dan politik, tetapi sudah masuk ke dalam aspek pendidikan, budaya,
bahkan agama.
Respon
masyarakat pun beragam, tergantung status masyarakat dan efek globalisasi yang
mereka rasakan, ada yang terlihat menerima, menolak, ada juga yang biasa-biasa
saja. Lalu bagaimana dengan sikap kita sebagai umat Islam terhadap arus
globalisasi ini, terlebih bila sudah bergesekan dengan masalah agama dan akidah
(keyakinan)?
Globalisasi
yang ditandai time-space compression
dan makin meningkatnya penggunaan media elektronik mempunyai bahaya yang cukup
besar bagi kemurnian Islam dan akidahnya, menipisnya ruang dan waktu membuat
budaya dan agama luar mudah sekali masuk dan bercampur dengan kehidupan sosial
kita, padahal millah orang barat
(Yahudi dan Nasrani) merupakan hal yang mesti umat Islam jauhi.
Dari Abu Sa’id Al-Khudriy dari Nabi SAW dia
berkata, “Kalian pasti akan mengikuti millah-millah orang-orang yang sebelum
kalian, dimulai sejengkal demi sejengkal, hingga sehasta demi sehasta, sehingga
apabila mereka masuk ke lubang biawak pun kalian akan menikutinya.” Para
sahabat bertanya, “Yahudi dan Nasrani-kah ya Rasulallah?” Rasulmenjawab, “Siapa
lagi…!” (H.R Bukhari, CD:6775)
Maraknya media elektronik pun -yang di
dominasi dengan barang yang bersifat hiburan dan tidak mengandung ilmu- secara
tidak langsung menjadi “penyumbat” telinga disaat umat Islam mendengar perintah
dan larangan Allah melalui firman dan sabda rasul-Nya (Luqman [31]:6-7).
Dan diantara manusia
(ada) orang yang memperguakan percakapan kosong untuk menyesatkan (manusia)
dari jalan Allah tanpa ilmu dan menjadikannya olok-olokan.Mereka itu akan
memperoleh azab yang menghinakan. Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat
Kami, dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah dia belum
mendengarnya, seakan-akan ada sumbatan dikedua telinganya, maka gembirakanlah
Disamping
itu kita pun harus jeli dari siapa dan dari mana pertama kali globalisasi ini
muncul, mayoritas berpendapat bahwa globalisasi adalah bentuk imperialisme baru
dengan standar internasional yang dicanangkan oleh kaum barat, namun terlepas
dari benar atau tidaknya pendapat ini, umat Islam patut waspada akan hal ini mengingat
dari dahulu pun memang Yahudi dan Nasrani mempunyai hati yang tidak baik terhadap umat Islam (Al-Baqarah
[2]:120). Jangan sampai umat Islam terlena dengan kemurahan-kemurahan dan
produk globalisasi yang menyimpang pisau tajam dibalik punggungnya.
Meskipun
di sisi yang lain globalisasi mempunyai andil bagi dakwah Islam, ini bukanlah
menjadi alasan untuk mengurangi rasa waspada kita, apalagi jika berkaca kepada
kaidah dalam Ushul Fiqh yang
menyatakan “jika dua hal yang mengandung
mafsadat bertemu, maka ambillah yang paling sedikit mafsadatnya”. Tentu
kita mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah, kita juga mampu
memilih mana yang lebih manfaat dan lebih berbahaya bagi kita, sehingga tidak
berat bagi umat Islam khususnya untuk menentukan sikap dalam menanggapi hal
ini.
Satu
lagi yang harus umat Islam miliki dalam upaya mengarungi arus globalisasi,
memperkuat dan memperkokoh pegangan terhadap Kitab Allah SWT (Al-Qur’an) dan
Sunnah Rasulallah SAW (Al-Hadits) adalah modal paling utama bagi umat Islam,
karena jika sudah kuat dalam hal ini, berkecimpung dalam dunia apapun,
bagaimana pun medannya tetap akan memberikan perlindungan dan keselamatan bagi
yang memilikinya. Khususnya dalam menghadapi Yahudi dan Nasrani sebagai aktor
utama di balik globalisasi, yang mungkin kedepannya akan mereka jadikan
modernisasi bahkan westernisasi. Wallahu
a’lam
Tidak ada komentar :
Posting Komentar