Rabu, 12 Desember 2012

RACUN PUJIAN



الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ         
“segala puji hanya bagi Allah, tuhan alam semesta.” (Al-Fatihah: 2)  
Akhir-akhir ini penulis entah mengapa sering “berhadapan” dengan yang namanya PEMILU…. Ya, inilah salah satu “tradisi” di negara kita. Di kampus, akhir tahun adalah masa peralihan kepengurusan, dan hampir semua dipilih melalui perhitungan suara, BEM (Univ/fak), BPM, UKM, DKM, himpunan jurusan, LK (intern/ekstern), hingga komunitas kecil-kecilan pun ikut meramaikan pergantian tahun dengan pergantian pemimpin mereka (atau kita..??). Bahkan untuk level nasional, sudah bosan rasanya melihat pesan komersial yang saling memuji jagoan masing-masing, mulai tingkat Gubernur hingga Presiden.
Tidak salah, itu wajar, bahkan salah satu pembelajaran dalam hidup berkelompok, pemimpin harus ada, ini bahkan Rasulallah SAW perintahkan.
إِذَا كَانَ ثَلاَثَةٌ فِيْ سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوْا أَحَدَهُمْ
Jika tiga orang berada dalam suatu perjalanan maka hendaklah mereka mengangkat salah seorang dari mereka sebagai pemimpin.  (HR Abu Dawud)
Lalu apa yang harus dibahas…?

HATI-HATI DENGAN PUJIANMU

Satu yang tidak kita sadari, termasuk orang yang labelnya anak pesantren, ustadz sekalipun, dan bagi kita sebagai orang biasa, mungkin hal ini sudah jadi makanan pokok yang tidak pernah terlewat sekali pun, kepada orang tua, saudara, teman, dosen, orang yang disukai, atau si mang tukang baju obralan di PAUN (pasar Unpad)..hehe
Apa itu…??
PUJIAN, ya pujian anda terhadap orang lain.
Emang masalah buat gue…??
Ya masalah…, masalah kecil yang akan jadi besar, atau mungkin maslah besar yang dianggap kecil. Kita tentunya tidak sadar bila terkadang kita memuji, memuji salah satu calon pemimpin kita di kampus misalnya, apalagi saat kita jadi “Tim Sukses”, jiwa raga sepertinya untuk sang calon saja, bahkan tidak merasa bersalah hingga berseteru dan saling ejek dengan sang lawan pesaing di perebutan kursi panas. Terlalu ekstrim..?? baik, dikeseharian pun sama, untuk menarik perhatian, terkadang kita suka memuji sang dosen atau teman kita tertentu, apalagi kalau teman baru pulang dari rumah atau cair uang beasiswanya, seribu pujian siap dilemparkan. Itulah sepintas realita kita dengan pujian.
Lalu bagaimana dengan kebiasaan kita selama ini memuji dan menyanjung seseorang?



Di dalam bahasa arab, kalimat الْحَمْدُ memiliki makna   الثناء الكامل” yang berarti pujian yang sempurna. Imam Al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya menyatakan bahwa penambahan alif lam di awalnya itu sebagai tanda istighraq (penglebihan) kalimat ini daripada kalimat pujian yang lainnya[1].  Karena di dalam bahasa arab sendiri, selain hamdun, kata yang digunakan untuk pujian ada madah/mad-hun dan tsana, ketiganya mempunyai arti yang sama di dalam kamus, yaitu pujian, namun di dalam pemakaiannya ketiga kata ini digunakan dalam keadaan yang berbeda. Ar-Raghib Al-Ashfahany menyatakan bahwa mad-hun adalah pujian yang digunakan bagi manusia dan hamdun adalah pujian yang hanya digunakan bagi Allah, karena hamdun lebih khusus dari mad-hun[2].
Dari pengertian mengenai makna hamdun di atas, maka sebenarnya tidak mengapa bagi kita untuk memuji seseorang, baik itu dari harta, akhlak, atau amalnya. Namun berkenaan dengan kebiasaan memuji ini, imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin[3] memberikan rambu-rambu bagi orang-orang yang terlibat dalam hal “puji-memuji”.
Pertama, imam Al-Ghazali menyatakan bahwa pujian bisa menjadi “racun” bagi dia yang memuji, karena terkadang saat seseorang memuji temannya, secara tidak sengaja dia telah mengatakan sesuatu lebih dari apa adanya, apalagi mendekati saat-saat rawan seperti menjelang pemilu (baik dari tingkat desa sampai Negara). Sebagai contoh, disaat Pilpres mulai mendekati, berita atau iklan tentang sang capres dari partai tertentu sering bermunculan di tv swasta tertentu, dengan berbagai pujian dari kadernya, atau dari masyarakat yang wallahu a’lam itu jujur atau tidaknya. Atau di kampus, penulis sendiri pernah rasakan desakan dari seorang TS yang berbicara tentang jagoannya yang menurut penulis begitu hebatnya hingga penulis beranggapan sayang kalau memang begitu adanya hanya ikut pemilihan ketua keorganisasian tingkat universitas, harusnya jadi presiden saja. Atau pun disaat lainnya, saat kita memuji seseorang dengan berlebihan, entah apa modusnya, tapi pujian itu terkadang terlampau tinggi dari apa adanya, ini sangat berbahaya, karena bisa saja kita yang memuji terjebak dalam dosa kepalsuan dan kedustaan, lalu apa bedanya kita dengan orang munafik yang apa dikatakannya berbeda dengan apa yang sebenarnya.
Kedua, pujian itu bisa menjadi racun untuk orang yang dipuji. Ini sangat mungkin terjadi, mereka yang memang baik, pintar, dermawan, atau yang lainnya bisa hilang kebaikannya karena dia merasa puas dengan sejuta pujian dari orang lain akan dirinya hingga akhirnya menjadi salah dalam niat, seorang yang rajin dan cerdas dalam belajar, hanya karena pujian orang lain yang sering diterimanya, dia menjadi puas dan malas bahkan terkejar prestasinya hanya karena pujian yang dialamatkan kepadanya. Ini jelas sangat merugikan bagi siapapun yang kena pujian.
Lalu apakah kita tidak boleh memuji?
Suatu saat Rasulallah bersabda: “Jika Umar melewati suatu gang, dan syetan pun melewati gang tersebut dari arah berlawanan, niscaya syetan akan lari terbirit-birit karena takut bertemu Umar”. (H.R al-Tirmidzi)
Di lain kesempatan, Rasulallah SAW bersabda di hadapan para sahabat ketika selesai shalat. “Surga itu mempunyai banyak pintu, maka orang masuk surge melalui pintu masing-masing, yang suka shalat mereka masuk lewat pintunya shalat, yang rajin berzakat, mereka masuk dari pintu zakat, yang ahli shaum, mereka masuk lewat pintu Rayyan (pintunya orang yang rajin shaum), semua masuk lewat pintu masing-masing.” Abu Bakar pun bertanya: “Ya Rasulallah..! apakah mungkin ada orang yang bisa masuk dari semua pintu yang ada?” Rasulallah menjawab: “ada, dia itu kamu wahai Abu Bakar.” HR. Bukhari [1897 dan 3666]
Dua hadits diatas merupakan bebtuk pujian Rasul kepada Umar dan Abu Bakar, dan kedua hal ini memang benar apa adanya, dimana Umar sebagai sahabat yang terkenal akan kekuatan iman dan keberaniannya, hingga suatu ketika syetan pun takut bertemu dengannya. Sedangkan Abu Bkar sudah sejak lama dikenal sebagai sahabat yang paling semangat dalam beribadah, hampir semua amal ibadah yang Rasul perintahkan beliau ikut melaksanakannya, hingga berkat semangatnya yang terlihat dari pertanyaannya itu pula, Rasulallah menyebutkan abu Bakar bisa masuk surge dari pintu mana saja yang ia kehendaki.
Intinya…??
Tidak mengapa kita memuji, itu adalah fitrah manusia. Namun tentunya perlu kehati-hatian yang tinggi saat kita hendak memuji atau sudah dipuji, jangan sampai pujian itu menjadi racun bagi kita saat memuji atau dipuji. Pujilah apa adanya dan berlindunglah dari setiap pujian.
Sabab kayas moal bisa disebut beureum, sok sanajan kayas bagian tina beureum (Merah Muda tidak bisa disebut merah, meskipun merah muda bagian dari merah)


[1] Tafsir Al-Qurthubi, 2003: 1/134
[2] Mu’jam Mufradat Alfadzi Al-Quran, 2009: 100. Beliau juga menyatakan bahwa hamdun lebih umum dari pada syukur, karena itu setiap syukur adalah hamdun, tapi tidak setiap hamdun itu syukur, begitu juga setiap mahdun adalah madhun, tetapi tiodak setiap madhun itu hamdun.
[3] Mengenai kitab ini, di kalangan para ulama masih terjadi kontroversi mengenai pemakaian, dilihat dari cara penukilan hadits, pada beberapa tempat terkadang beliau menukil hadits-hadits yang derajatnya lemah, tentunya ini lumayan beresiko bila dibaca oleh orang awam, sehingga ada beberapa ulama yang menyarankan untuk tidak membaca kitab ini disamping dengan alasan “aroma” sufinya yang masih kental, namun beberapa ulama pun membolehkan untuk membaca kitab ini, melihat isi nasihatnya, juga kiat-kiat “jitu”nya dalam memperbaiki akhlak sangat cocok untuk dilakukan. Penulis sendiri mengambil sikap selama apa yang ada di dalamnya tidak bertentangan dengan Quran Sunnah, maka tidak mengapa mengambil referensi dari kitab ini.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar