الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ
الْعَالَمِينَ
“segala
puji hanya bagi Allah, tuhan alam semesta.” (Al-Fatihah: 2)
Akhir-akhir
ini penulis entah mengapa sering “berhadapan” dengan yang namanya PEMILU…. Ya,
inilah salah satu “tradisi” di negara kita. Di kampus, akhir tahun adalah masa
peralihan kepengurusan, dan hampir semua dipilih melalui perhitungan suara, BEM
(Univ/fak), BPM, UKM, DKM, himpunan jurusan, LK (intern/ekstern), hingga
komunitas kecil-kecilan pun ikut meramaikan pergantian tahun dengan pergantian
pemimpin mereka (atau kita..??). Bahkan untuk level nasional, sudah bosan
rasanya melihat pesan komersial yang saling memuji jagoan masing-masing, mulai
tingkat Gubernur hingga Presiden.
Tidak
salah, itu wajar, bahkan salah satu pembelajaran dalam hidup berkelompok,
pemimpin harus ada, ini bahkan Rasulallah SAW perintahkan.
إِذَا
كَانَ ثَلاَثَةٌ فِيْ سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوْا أَحَدَهُمْ
Jika
tiga orang berada dalam suatu perjalanan maka hendaklah mereka mengangkat salah
seorang dari mereka sebagai pemimpin. (HR
Abu Dawud)
Lalu
apa yang harus dibahas…?
![]() |
HATI-HATI DENGAN PUJIANMU |
Satu
yang tidak kita sadari, termasuk orang yang labelnya anak pesantren, ustadz
sekalipun, dan bagi kita sebagai orang biasa, mungkin hal ini sudah jadi
makanan pokok yang tidak pernah terlewat sekali pun, kepada orang tua, saudara,
teman, dosen, orang yang disukai, atau si mang tukang baju obralan di
PAUN (pasar Unpad)..hehe
Apa itu…??
Emang
masalah buat gue…??
Ya masalah…,
masalah kecil yang akan jadi besar, atau mungkin maslah besar yang dianggap
kecil. Kita tentunya tidak sadar bila terkadang kita memuji, memuji salah satu
calon pemimpin kita di kampus misalnya, apalagi saat kita jadi “Tim Sukses”,
jiwa raga sepertinya untuk sang calon saja, bahkan tidak merasa bersalah hingga
berseteru dan saling ejek dengan sang lawan pesaing di perebutan kursi panas. Terlalu
ekstrim..?? baik, dikeseharian pun sama, untuk menarik perhatian, terkadang
kita suka memuji sang dosen atau teman kita tertentu, apalagi kalau teman baru
pulang dari rumah atau cair uang beasiswanya, seribu pujian siap dilemparkan. Itulah
sepintas realita kita dengan pujian.
Lalu
bagaimana dengan kebiasaan kita selama ini memuji dan menyanjung seseorang?
Di
dalam bahasa arab, kalimat الْحَمْدُ memiliki makna “الثناء الكامل” yang berarti pujian yang sempurna. Imam
Al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya menyatakan bahwa penambahan alif lam
di awalnya itu sebagai tanda istighraq (penglebihan) kalimat ini
daripada kalimat pujian yang lainnya[1]. Karena di dalam bahasa arab sendiri, selain hamdun,
kata yang digunakan untuk pujian ada madah/mad-hun dan tsana,
ketiganya mempunyai arti yang sama di dalam kamus, yaitu pujian, namun di dalam
pemakaiannya ketiga kata ini digunakan dalam keadaan yang berbeda. Ar-Raghib
Al-Ashfahany menyatakan bahwa mad-hun adalah pujian yang digunakan bagi
manusia dan hamdun adalah pujian yang hanya digunakan bagi Allah, karena hamdun
lebih khusus dari mad-hun[2].
Dari pengertian mengenai makna hamdun
di atas, maka sebenarnya tidak mengapa bagi kita untuk memuji seseorang, baik
itu dari harta, akhlak, atau amalnya. Namun berkenaan dengan kebiasaan memuji
ini, imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin[3]
memberikan rambu-rambu bagi orang-orang yang terlibat dalam hal “puji-memuji”.
Pertama, imam
Al-Ghazali menyatakan bahwa pujian bisa menjadi “racun” bagi dia yang memuji, karena
terkadang saat seseorang memuji temannya, secara tidak sengaja dia telah
mengatakan sesuatu lebih dari apa adanya, apalagi mendekati saat-saat rawan
seperti menjelang pemilu (baik dari tingkat desa sampai Negara). Sebagai contoh,
disaat Pilpres mulai mendekati, berita atau iklan tentang sang capres dari
partai tertentu sering bermunculan di tv swasta tertentu, dengan berbagai
pujian dari kadernya, atau dari masyarakat yang wallahu a’lam itu jujur
atau tidaknya. Atau di kampus, penulis sendiri pernah rasakan desakan dari
seorang TS yang berbicara tentang jagoannya yang menurut penulis begitu
hebatnya hingga penulis beranggapan sayang kalau memang begitu adanya hanya
ikut pemilihan ketua keorganisasian tingkat universitas, harusnya jadi presiden
saja. Atau pun disaat lainnya, saat kita memuji seseorang dengan berlebihan,
entah apa modusnya, tapi pujian itu terkadang terlampau tinggi dari apa adanya,
ini sangat berbahaya, karena bisa saja kita yang memuji terjebak dalam dosa
kepalsuan dan kedustaan, lalu apa bedanya kita dengan orang munafik yang apa
dikatakannya berbeda dengan apa yang sebenarnya.![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiHqIWCTMNMkopyQsZNtLIQ3_bn7ENa7uK0QKYz0jJ9-Z3zJuagXk3WSkpZAzmpOoENjO6slswJ-5xIORZ1Y8Ycu0yctxi5q9AlRDIbi6yyg3yC8AHLaaVBmZkDUahPQqJ9SUkHuC5aDDU/s320/racun.jpg)
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiHqIWCTMNMkopyQsZNtLIQ3_bn7ENa7uK0QKYz0jJ9-Z3zJuagXk3WSkpZAzmpOoENjO6slswJ-5xIORZ1Y8Ycu0yctxi5q9AlRDIbi6yyg3yC8AHLaaVBmZkDUahPQqJ9SUkHuC5aDDU/s320/racun.jpg)
Kedua, pujian itu
bisa menjadi racun untuk orang yang dipuji. Ini sangat mungkin terjadi, mereka yang
memang baik, pintar, dermawan, atau yang lainnya bisa hilang kebaikannya karena
dia merasa puas dengan sejuta pujian dari orang lain akan dirinya hingga
akhirnya menjadi salah dalam niat, seorang yang rajin dan cerdas dalam belajar,
hanya karena pujian orang lain yang sering diterimanya, dia menjadi puas dan
malas bahkan terkejar prestasinya hanya karena pujian yang dialamatkan
kepadanya. Ini jelas sangat merugikan bagi siapapun yang kena pujian.
Lalu apakah kita tidak boleh
memuji?
Suatu saat Rasulallah bersabda: “Jika
Umar melewati suatu gang, dan syetan pun melewati gang tersebut dari arah
berlawanan, niscaya syetan akan lari terbirit-birit karena takut bertemu Umar”.
(H.R al-Tirmidzi)
Di lain kesempatan, Rasulallah SAW
bersabda di hadapan para sahabat ketika selesai shalat. “Surga itu mempunyai
banyak pintu, maka orang masuk surge melalui pintu masing-masing, yang suka
shalat mereka masuk lewat pintunya shalat, yang rajin berzakat, mereka masuk
dari pintu zakat, yang ahli shaum, mereka masuk lewat pintu Rayyan (pintunya
orang yang rajin shaum), semua masuk lewat pintu masing-masing.” Abu Bakar pun
bertanya: “Ya Rasulallah..! apakah mungkin ada orang yang bisa masuk dari semua
pintu yang ada?” Rasulallah menjawab: “ada, dia itu kamu wahai Abu Bakar.” HR. Bukhari [1897 dan 3666]
Dua hadits diatas merupakan bebtuk
pujian Rasul kepada Umar dan Abu Bakar, dan kedua hal ini memang benar apa
adanya, dimana Umar sebagai sahabat yang terkenal akan kekuatan iman dan
keberaniannya, hingga suatu ketika syetan pun takut bertemu dengannya. Sedangkan
Abu Bkar sudah sejak lama dikenal sebagai sahabat yang paling semangat dalam
beribadah, hampir semua amal ibadah yang Rasul perintahkan beliau ikut
melaksanakannya, hingga berkat semangatnya yang terlihat dari pertanyaannya itu
pula, Rasulallah menyebutkan abu Bakar bisa masuk surge dari pintu mana saja
yang ia kehendaki.
Intinya…??
Tidak mengapa kita memuji, itu
adalah fitrah manusia. Namun tentunya perlu kehati-hatian yang tinggi saat kita
hendak memuji atau sudah dipuji, jangan sampai pujian itu menjadi racun bagi
kita saat memuji atau dipuji. Pujilah apa adanya dan berlindunglah dari setiap
pujian.
“Sabab kayas moal bisa disebut beureum, sok
sanajan kayas bagian tina beureum (Merah Muda tidak
bisa disebut merah, meskipun merah muda bagian
dari merah)”
[1] Tafsir
Al-Qurthubi, 2003: 1/134
[2]
Mu’jam Mufradat Alfadzi Al-Quran, 2009: 100. Beliau juga menyatakan
bahwa hamdun lebih umum dari pada syukur, karena itu setiap syukur adalah
hamdun, tapi tidak setiap hamdun itu syukur, begitu juga setiap mahdun adalah
madhun, tetapi tiodak setiap madhun itu hamdun.
[3]
Mengenai kitab ini, di kalangan para ulama masih terjadi kontroversi mengenai
pemakaian, dilihat dari cara penukilan hadits, pada beberapa tempat terkadang
beliau menukil hadits-hadits yang derajatnya lemah, tentunya ini lumayan
beresiko bila dibaca oleh orang awam, sehingga ada beberapa ulama yang
menyarankan untuk tidak membaca kitab ini disamping dengan alasan “aroma”
sufinya yang masih kental, namun beberapa ulama pun membolehkan untuk membaca
kitab ini, melihat isi nasihatnya, juga kiat-kiat “jitu”nya dalam memperbaiki
akhlak sangat cocok untuk dilakukan. Penulis sendiri mengambil sikap selama apa
yang ada di dalamnya tidak bertentangan dengan Quran Sunnah, maka tidak mengapa
mengambil referensi dari kitab ini.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar