Rabu, 12 Juni 2013

KATA “BURUK” DALAM BAHASA ARAB DAN PENGGUNAANNYA DI DALAM AL-QURAN



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang Masalah
Sejak jaman Nabi adam AS hingga saat ini, manusia Allah ciptakan dalam keadaan berkelompok dan mempunyai naluri untuk bersosial, hal ini senada dengan apa yang Allah sebutkan dalam firman-Nya surat Al-Hujurat ayat 13:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا...الآية.
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal...” (Departemen Agama RI, 2005: 745)
Tentunya dalam setiap kelompok masyarakat, terlebih yang di dalamnya terjalin komunikasi satu sama lainnya, sosok seorang pemimpin sangatlah urgen keberadaannya, pemimpin yang memang mempunyai kapabilitas untuk membawa umatnya menuju jalan yang Allah ridhai. Satu diantara sekian banyak pemimpin yang Allah turunkan adalah Muhammad SAW, Muhammad SAW mempunyai kelebihan dari pemimpin lainnya, terlebih dengan Al-Quran sebagai kitab suci yang menjadi pedoman untuknya dan para pengikutnya.
Al-Quran diturunkan dalam bahasa Arab, sebagaimana firman Allah dalam surat Yusuf ayat 2:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآَنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ.
  “sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Qur’an berbahasa Arab, agar kamu mengerti.” (Depag RI, 2005: 31)
Dengan turunnya Al-Quran dalam bahasa Arab, mau tidak mau menjadi penyebab pentingnya bahasa Arab untuk difahami, terlebih bagi umat Islam, pemahama akan arti dan makna dari bahasa Arab sangatlah penting, apalagi yang berkaitan dengan ayat Al-Quran.
Pada kesempatan ini, penulis akan meneliti mengenai makna semantik dari kata “jelek atau jahat” dalam bahasa Arab, yang meliputu kata fahsya`, munkar, suu`u, dan syarru juga pemakaian kata-kata ini di dalam Al-Quran. Sebagai contoh kita mendapatkan sebuah ayat seperti:
...وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ....الآية. (العنكبوت: ٤٥)
مِن شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ ﴿النّاس:٤﴾
...أُولَـٰئِكَ لَهُمُ اللَّعْنَةُ وَلَهُمْ سُوءُ الدَّارِ ﴿الرعد:٢٥)
Walaupun di dalam bahasa Indonesia, kalimat seperti fahsya`, minkar, syarru, dan suu’u memiliki arti yang sama, tetapi ada alasan-alasan tertentu yang menyebabkan mengapa kalimat itu yang dipakai dalam ayat bersangkutan, dan ini juga yang menjadi tujuan penulis dari penelitian ini.
Dalam kenyataannya, banyak dari umat Islam yang tidak tahu menahu mengenai perbedaan makna ini, sehingga tidak jarang banyak dari umat Islam sendiri yang salah memahami dan menanggapi seperti ayat-ayat di atas. Dengan latar belakang itu penulis tertarik untuk membuat karya ilmiah dengan judul “KATA “BURUK” DALAM BAHASA ARAB DAN PENGGUNAANNYA DI DALAM AL-QURAN” Penulis berharap pembaca dapat memahami arti dari setiap kata dengan berlanjut menjadi bisa menbedakan karakter dan ciri dari kata tersebut (dalam kehidupan riil), sehingga pembaca terhindar dari salah faham karena ketidaktahuannya, dan pembaca mampu lebih menyiapkan lagi diri secara  dalam menghadapi dunia sebagai seorang muslim.

1.2  Identifikasi Masalah
Masalah yang akan diidentifikasi dalam karya ilmiah ini adalah sebagai berikut:
1.      Apa arti dari fahsya`, munkar, syarru, dan suu`u?
2.      Apa hubungan makna antara  fahsya`, munkar, syarru, dan suu`u dengan ayat Al-Quran dan Hadits yang menggunakan kata-kata tersebut?
3.      Makna apa saja yang terkandung dalam masing-masing kalimat?
1.3  Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.      memahami arti dari fahsya`, munkar, syarru, dan suu`u
2.      mengetahui ayat AL-Quran dan hadits yang menggunakan kata fahsya`, munkar, syarru, dan suu`u
3.      memahami makna-makna yang terkandung dari fahsya`, munkar, syarru, dan suu`u
1.4  Kegunaan Penelitian
Kegunaan dari penelitian kajian semantik ini terdiri dari kegunaan secara praktis dan kegunaan secara teoritis.
Kegunaan praktis ialah kegunaan yang bisa dirasakan dan dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu sebagai berikut:
1.      Menjadi pemicu untuk lebih memperdalam lagi ilmu Al-Quran.
2.      Sebagai penambah pengetahuan tentang Islam, dan memahami makna yang terkandung dalam Al-Quran.
3.      Sebagai media muhasabah terhadap kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan.
Kegunaan teoritis ialah kegunaan yang dapat diterapan dalam bidang keilmuan, yaitu sebagai berikut:
1.      Membedakan makna-makna yang terkandung dalam bahasa arab, terlebih makna kalimat yang mempunyai arti hampir sama.
2.      Menerapkan teori pembedaan kata dalam bahasa Arab di dalam kegiatan keilmuan.
3.      Menambah khazanah penegetahuan, khususnya dalam bidang tata bahasa Arab.
1.5  Kerangka Karangan
Dalam penelitian ini, akan digunakan teori-teori atau pendapat-pendapat yang relevan dengan masalah yang penulis teliti. Untuk mengkaji makna semantik kalimat fahsya` penulis menggunakan teori Al-Asfahany (2009), An-Naisabury (2002),  Ibnu Ajibah (tanpa tahun), dan Al-Jazairy (tanpa tahun). Untuk mengkaji makna semantik dari kalimat munkar penulis menggunakan teori As’ad Humaid (tanpa tahun), Al-Jazari (1979), Az-Zamakhsary (tanpa tahun), dan Ibnu Jauzy. Untuk mengkaji makna dari kalimat syarru penulis menggunakan metode Chodjim (t.tahun), Ridha (2007), At-Tunisy (2000), dan Al-Asfahany (2007). Dan untuk mengkaji makna kalimat suu’u penulis menggunakan metode Al-Asfahany (2007), Al-Jazairy (t.tahun), dan An-Naisabury (2002).
1.6 Metode Penelitian
Metode yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah metode desriptif analitik. Metode deskriptif ialah dengan menyajikan data “yang berisi informasi faktual yang menggambarkan segala sesuatu apa adanya.’ (Zed, 2008: 56), sedangkan analitik ialah “peneliti memiliki pemahaman terhadap bahasa sasaran.” (Alwasilah, 2008: 69)
Adapun langkah yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah:
-          Studi kepustakaan, yaitu dengan mencari dan menyimpulkan data yang terkumpul dari sumber-sumber litelatur yang relevan dengan tema penelitian.
-          Menganalisis makna semantik dari setiap kalimat dan mengungkap keterkaitan dengan ayat Al-Quran dan hadits yang menggunakan kata tersebut.
1.7 Sumber Data
Sumber data yang penulis gunakan dalam penelitian ini terdiri dari sumber data primer dan sumber data sekunder.
-          Sumber data primer adalah diambil dari Al-Quran dan Hadits.
-          Sumber data sekunder diambil dari sumber-sumber lain seperti buku, jurnal, dan sebagainya yang berkaitan dengan tema penelitian.
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Definisi Kata
2.1.1 Definisi Fahsya`
Istilah fahsya` bagi umat Islam sendiri adalah sebuah istilah yang sudah tidak asing lagi keberadaannya, seringkali istilah kita jumpai disaat membaca litelatur-litelatur keislaman, mendengar ceramah saat shalat jumat atau pengajian (baik langsung maupun lewat media), bahkan untuk mereka yang merupakan aktivis-aktivis dakwah kampus, istilah ini sering disebut-sebut juga dalam sebagian diskusi mereka. Namun apakah hal ini menjamin bahwa yang bicara dan yang mendengar faham akan makna fahsya` itu sendiri?
Fahsya` adalah “apa-apa yang besar kejelekan/kejahatannya baik itu dari perkataan maupun perbuatan.” (Al-Ashfahany, 2009: 282, Halim, 1995: 113), dari pendapat ini terlihat bahwa fahsya` berkisar dalam masalah akhlak yang meliputi perkataan dan perbuatan, perbuatan dan perkataan yang mengandung kejelekan maka itu termasuk ke dalam kategori fahsya`. Lalu apa bedanya dengan dosa? Maka untuk menjawab pertanyaan ini hal yang patut digarisbawahi dari pendapat di atas ialah kalimat “besar”, dengan demikian yang membedakan antara dosa dan fahsya` sebagaimana pendapat dari Humaid (CD, t.tahun: 1/1991) menyatakan bahwa fahsya` hanya terbatas pada kejahatan (dosa) yang keburukannya melampaui batas terhadap orang lain. Berbeda dengan pendapat sebelumnya, An-Nahawi (t.tahun, 3/47) menyatakan bahwa fahsya’ hanya beskisar pada perkataan dan ucapan-ucapan yang buruk saja, tidak dengan perbuatan.
Ibnu Abbas ra berpendapat bahwa uang dimaksud dengan fahsya` adalah “setiap perkara yang mendapat had di dunia dari kemaksiatan baik itu dari perkataan maupun perbuatan.” (An-Naisabury, CD, 2002: 2/39, Ajibah, CD, t.tahun: 1/133), dari pendapat Ibnu Abbas di atas dapat difahami bahwa fahsya’ juga selain sifat jeleknya yang melampaui batas, fahsya` juga ditandai dengan adanya hukuman (dalam syariat Islam) di dunia yang disebabkan karena melakukannya. Maka karena itu Al-Jazairy (CD, t.tahun: 1/71) mengatakan bahwa tabiat-tabiat buruk seperti zina dan liwath (homoseksual) termasuk kedalam kategori fahsya`, bahkan menurut Quthb (2000: 367) takut akan kemiskinan pun termasuk ke dalam fahsya`.
 Kata fahisyah berasal dari akar kata fa, ha dan syin yang secara keseluruhan mengandung arti “keburukan”. Secara bahasa kata ini kemudian diartikan sebagai segala perbuatan yang dinilai sangat buruk oleh agama, budaya, naluri kemanusiaan dan akal yang sehat, menyangkut ucapan atau perbuatan.” (Nurdin, 2006: 211).
Pendapat terakhir ini nampaknya pendapat yang paling mewakili dari semua pendapat yang disebutkan sebelumya, karena perbuatan-perbuatan seperti zina, mencuri, membunuh dan sebagainya bukan hanya dalam pandangan agama (Islam), tetapi dari sudut budaya dan akal pun hal-hal itu termasuk perbuatan tercela, maka fahsya pun sering orang sebut dengan perbuatan keji. Keji sendiri berarti “hina, sangat rendah (kotor, tidak sopan, dan sebagainya).” (Pusat Bahasa, 2008: 665).
2.1.2 Definisi Munkar
Selain fahsya` ada satu lagi istilah yang bahkan lebih sering di dengar oleh masyarakat pada umumnya, yaitu munkar. Munkar memang merupakan istilah yang menggambarkan keburukan dalam bahasa arab selain fahsya`, bahkan terkadang kedua istilah ini dalam beberapa ayat disebutkan secara berurutan.
Yunus (t.tahun: 468) menyatakan bahwa munkar adalah hal-hal yang Allah tidak ridhai dan bersifat keji, munkar juga merupakan kebalikan dari makruf, karena munkar berasal dari akar kata nakira-yankaru-nakran yang mempunyai arti tidak diketahui. Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa setiap yang syariat jelekkan, haramkan, dan benci maka itu adalah munkar.” (Al-Jazari, CD, 1979: 5/420). Al-Jazairy (CD, t.tahun: 2/319) menjelaskan bahwa munkar sesuatu yang bukan hanya ditolak oleh syariat agama, akan tetapi akal sehat dan fitrah kita sebagai manusia pun menolaknya. Dan masih ada ulama seperti Humaid (CD, t.tahun: 1/1999, 2694), yang juga berpendapat bahwa munkar adalah susuatu yang ditolak (diinkari) oleh syariat karena kejelekannya. Sementara Az-Zamakhsyary (CD, t.tahun: 1/284) menyatakan bahwa munkar lebih identik dengan akhlak, yakni akhlak yang keluar dari adab baik.
Dari pendapat-pendapat di atas hampir semuanya menggambarkan bahwa munkar adalah sesuatu yang tidak diterima keberadaannya karena hal itu amatlah jelek sifatnya, bahkan “munkar lebih umum dari fahsya`, karena munkar mencakup semua kemaksiatan.” (Ibnu Jauzy, CD,  t.tahun: 1/859)
2.1.3 Definisi Syarr/ Syarru
Selain fahsya` dan munkar yang sering disebutkan secara berbarengan, dalam bahasa Arab masih ada istilah lain yang mewakili kata buruk dalam bahasa Indonesia, salah satunya yaitu kata Syarr/ Syarru.
Berbeda dengan fahsya` maupun munkar, syarr lebih ringan sifat kejelekannya dari fahsya’ dan munkar, bahkan terkadang syarr digunakan pada ranah yang berbeda, bukan lagi berkisar hanya pada hal yang berbentuk amalan seperti fahsya` dan munkar, syarr terkadang berada di luar itu. “Syarr (kata jamaknya, syurur) mempunyai arti sakit, jahat, buruk: penyebab rasa sakit, penyebab kejahatan, malapetaka, bencana; rusak, merusak, rugi, merugikan, bahaya, dan membahayakan.” (Chodjim, t.tahun: 55), Ibnu Qayyim Al-Jauziyah berpendapat bahwa “rasa sakit dan penyebab rasa sakit atau bersifat sebab dan akibat.” (Chodjim, t.tahun: 55). Sementara itu Ridha (2007: 228) menyatakan bahwa segala hal yang dapat menimbulkan bahaya, kejelekan, bahkan kejahatan itu termasuk ke dalam Syarr. Dari perenyataan-pernyataan di atas, kata syarr lebih identik kepada sebab daripada akibat, dalam artian, mereka berpendapat bahwa syarr adalah predikat untuk perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan kerugian bilamana kita melakukannya. Itu makanya Nurdin (2006: 213) berpendapat bahwa dua cakupan dari syarr, yaitu  kepedihan dan yang mengantarkan pada kepedihan itu.
Namun berbeda dengan pendapat diatas, At-Tunisy (2000: 1/2592) menjelaskan bahwa syarr merupakan sebutran untuk perebuatan-perbuatan yang mengantarkan pelakunya ke pusat atau inti tipu muslihat. Dalam artian, orang yang telah melakukan perbuatan syarr, maka dia sebenarnya telah sampai ke dalam tipu daya yang disiapkan oleh musuhnya. Dan penulis menukil juga pendapat Al-Asfahany (2007: 193) yang menyatakan bahwa syarr adalah segala sesuatu yang tidak disukai. Lawan dari khair, yaitu segala sesuatu yang disukai.
2.1.4 Definisi Suu`u
Kata terakhir yang penulis masukkan dalam pembahasan ini adalah suu’u, alasan dari pemilihan mengapa kata ini yang penulis pilih, karena kata suu’u juga banyak dan sering digunakan masyarakat pada kegiatan sosial segari-hari, kalimat seperti suu-udzan, suu’ul khatimah, atau yang lainnya, sering kita dengar keluar dari mulut teman, saudara, hingga orang tua.
Kata suu-u, masih menurut Al-Asfahany (2007: 185), beliau menjelaskan bahwwa suu’u adalah setiap hal yang dibenci, dan suu`u adalah kebalikan dari husnun. Sedangkan menurut Al-Jazairy (CD, t.tahun: 1/71) suu`u adalah segala sesuatu yang merusak jiwa dan membuat sedih orang yang terkena suu’u ini (menderita), dan setiap hal  yang merugikan (dosa) maka itu juga disebut sebagai sebuah ke-suu`u-an. Dan menurut An-Naisabury (2002: 2/ 39) yang menukil pendapat Ibnu Abbas menerangkan bahwa suu’u adalah kesalahan atau dosa yang tidak akan mendapatkan had (hukuman) secara hukum ketika masih di dunia. Berlandaskan pendapat ini pula banyak yang berpendapat bahwa suu`u merupakan kebalikan dari fahsya`.
Tidak banyak sumber mengenai suu’u, akan tetapi meski hanya dari dua sumber, dapat ditarik satu titik persamaan bahwa suu’u menurut para ulama di atas adalah hal-hal yang sifatnya dibenci karena mengakibatkan kesusuhan, karena secara makna keseluruhan, kata suu`u dengan kata lainnya tidak ada perbedaan yang mencolok, hanya mungkin dalam segi penempatan, kata suu`u juga sama dengan kata jelek/buruk dalam bahasa arab lainnya yang mempunyai alasan-alasan tertentu.
2.1.5 Kalimat lain
Selain kata-kata yang empat di atas, sebenarnya masih banyak kalimat dalam bahasa arab yang mewakili arti jelek atau buruk dalam bahasa indonesia, penulis mencoba menghadirkan beberapa definisi di luar keempat kata tadi sebagai penambah ilmu dan pemahaman pembaca semua.
Baghyu, adalah sebutan untuk “dzalim, melanggar peraturan, dan sombong kepada manusia.” (Humaid, CD, t,tahun: 1/1991)
Khabits, maksudnya najis.” (Ibnu Atsir, 4/330). Namun banyak juga yang menggunakan kata ini untuk menggambarkan kejelekan, khususnya  kejahatan yang kita sebut itu berasal dari syetan.
Dan masih banyak yamg lainnya.
2.2 penggunaan kata fahsya`, munkar, syarr, dan suu`u dalam Al-Quran
وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ
  “dan laksanakanlah salat. Sesungguhnya salat itu menghindarkan dari (perbuatan) keji dan munkar.” (Depag RI, 2005: 566)
Maksudnya, “jika mendirikan salat dalam kehidupan sehari-hari, akan membawa pada meninggalkan perbuatan Fahsya` (keji) dan munkar.” (Katsir, 1999: 6/280)
... وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
  “...dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemunkaran, dan permusuhan...” (Depag RI, 2005: 377)
يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ...
  “wahai anakku! Laksanakanlah shalat dan suruhlah (manusia) berbuat yang makruf dan cegahlah (mereka) dari yang munkar....” (Depag RI, 2005: 582)
...الآمِرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّاهُونَ عَنِ الْمُنكَرِ...
  “... menyuruh berbuat makruf dan mecegah dari yang munkar...” (Depag RI, 2005: 275)
إِنَّمَا التَّوْبَةُ عَلَى اللَّهِ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السُّوءَ بِجَهَالَةٍ...
  “sesungguhnya bertaubat kepada Allah itu hanya (pantas) bagi mereka yang melakukan kejahatan karena tidak mengerti....” (Depag RI, 2005: 104)










BAB III
ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Al-Quran sebagai wahyu Allah sekaligus mukjizat yang Allah turunkan untuk Nabi Muhammad SAW begitu agung dengan kesempurnaan dan keistimewaannya, bahasanya yang indah dan mengandung makna yang dalam redaksi yang singkat tidak bertele-tele. Al-Qur’an yang diturunkan dalam waktu 23 tahun melalui perantara malaikat Jibril dengan berbagai bentuk seperi gemerincing lonceng hingga deburan gelombang yang membuat Rasulallah menggigil berat saat menerimanya. Penulis akan mengutarakan hasil penelitian yang penulis analisis mengenai Al-Quran, yang terfokus pada pembahasaan kata fahsya`, munkar, syarr, dan suu`u.
3.1  hakikat Fahsya` dan Munkar
Melihat pengertian dari fahsya` dan munkar pada bab sebelumnya, tentunya kita sudah bisa mengetahui lebih mengenai dua hal ini, apalagi dengan ditambah adanya tuntutan Allah SWT kepada kita untuk menjauhi kedua hal ini, membuat kita harus memahami makna dari fahsya` dan munkar itu sendiri.
Namun terkadang, kita masih belum bisa membedakan mana fahsya` dan mana munkar, terlebih disaat harus mengantisipasi kedua hal ini, tidak menutup kemungkinan hal ini masih terjadi meski pembaca sudah melihat dan membaca pengertian fahsya` dan munkar pada bab sebelumnya di dalam karya tulis ini.
Pada suatu kesempatan, penulis pernah mendengar seorang kyai berbicara saat sedang menjadi khatib dalam shalat Jumat, beliau berbicara seputar fahsya` dan munkar, beliau menjelaskan bahwa perbedaan makna antara fahsya` dan munkar itu dari segi sifat akibatnya, dimana fahsya` mempunyai sifat merusak dan merugikan dari apa yang dilakukan yang kerugiannya hanya dirasakan oleh si pelaku saja, sedangkan munkar adalah kesalahan yang akibat dari kesalahan itu bukan hanya dirasakan oleh diri si pelakunya saja, tetapi bagi orang lain pun kemadlaratan dan kerugian yang diakibatkan perbuatan munkar ini terasa oleh yang lain. Lalu apakah demikian adanya?
Hal ini bisa jadi benar apa adanya, karena perbuatan fahsya` seperti mencuri, zina, membunuh dan sebagainya, akibat buruknya lebih terasa oleh diri sendiri, oleh si pelaku sendiri, mulai dari hukuman penjara hingga setingkat penyakit HIV-AIDS semua itu hanya akan dirasakan dan ditanggung oleh si pencuri, pembunuh, pezina, atau pelaku dosa yang lainnya saja, sedangkan orang lain yang berada di sekitarnya terbebas dari akibat buruk yang disebabkan oleh apa yang dilakukan oleh si pelaku. Sedangkan perbuatan yang bersifat munkar, pada umumnya selain merugikan si pelaku, orang lain pun mendapat imbas kerugian dari perbuatan itu.
Namun hal ini masih mempunyai celah kelemahan untuk dipertahankan, karena perbuatan seperti mencuri dan berzina juga pada hakikatnya bahkan terlihat secara riil, memberikan kerugian bagi orang sekitar apalagi mereka yang menjadi korban, misalnya para korban pencurian, mereka harusa merasa rugi dengan hilangnya hak milik mereka yang dirampas oleh si perampok, begitu juga dengan reputasi dan harga diri sebuah keluarga menjadi taruhan utama yang rawan saat salah satu anggota keluarga mereka kedapatan melakukan perzinaan, apalagi kalau misalnya melihat kasus-kasus seperti aborsi, para janin jelas-jelas sebagai bukti nyata bahwa perbuatan fahsya` juga memberikan kemadlaratan dan kerugian bagi yang lain diluar pelakunya saja.
Sedangkan menurut analisis penulis, kata fahsya` lebih ke perbuatan hina yang justru si pelaku itu malah merasa nyaman dengan apa yang dia lakukan, perbuatan yang bahkan bisa menimbulkan sifat adiktif kepada pelakunya, hal ini memang wajar, karena menurut firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 268.
  الشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُمْ بِالْفَحْشَاءِ...
  “Syetan menjanjikan (menakut-nakuti) kemiskinan kepadamu dan menyuruhmu berbuat keji (kikir)...” (Depag RI, 2005: 56)
Ayat ini diperkuat dengan sebuah hadits riwayat bukhari yang menyatakan bahwa neraka ditutupi oleh syetan itu dengan apa yang kita suka (syahwat) dan menutupi syurga dengan apa yang kita benci.(Bukhari)
menjelaskan mengenai fahsya` yang berkaitan dengan ayat di atas dan pastinya dengan apa yang kita bahas sekarang.
Sedangkan munkar lebih cenderung kepada perbuatan-perbuatan yang tidak diterima tentang kebenaran dan keberadaannya, apalagi munkar adalah kebalikan dari makruf, sebagai mana kita ketahui bahwa makruf yang berasal dari kata ‘arafa yang berarti diketahui atau dikenal, muksudnya diketahui dan dikenal kebaikannya, oleh karena itu makruf diterima oleh syariat, akal, naluri, dan sebagainya, sedangkan munkar, karena dari sikap itu tidak terlihat atau dikenal kebaikannya, justru malah kejelekannya yang nampak, maka perbuatan-perbuatan seperti itu ditolak dan diinkari kebenarannya baik oleh syariat, akal, maupun naluri.
3.2 Syarr
Syarr berbeda dengan fahsya’ maupun munkar, bila fahsya` dan munkar identik dengan sifat sebuah perbuatan secara menyeluruh, syarr yang dapat penulis rangkum dari apa yang telah penulis analisis dari data sebelumnya, bahwa syarr memang lebih condong ke sesuatu yang bisa menyebabkan keburukan dan kejelekan ke depannya, dan itu juga bisa dilihat khususnya dalam surat An-Nas dan Al-Falaq.
Namun dari analisis penulis pribadi, bahwa al-syarr adalah kebalikan dari khair, khair adalah sesuatu yang pandai dan benar menurut pandangan penutur, maka otomatis menurut pandangan yang lainnya belum tentu hal itu juga sama baiknya, maka bila keadaan khair begitu, maka syarr adalah sesuatu yang dianggap jelek menurut penuturnya, dan belum tentu hal itu lebih  baik bila ditanya menurut pandangan yang lainnya.
3.3 Suu`u
Sedangkan suu’u, menurut analisis penulis lebih kepada kebalikan dari hasanah, yaitu kejelekan yang diakibatkan oleh sesuatu, seperti halnya hasanah yang menggambarkan sesuatu hal baik yang kita dapatkan karena kita melakukan sesuatu. Disini posisinya yaitu sebagai akibat dari sebuah perbuatan.











BAB IV
PENUTUP

4.1 Simpulan
Berdasarkan analisis penulis terhadap data-data, maka penulis dapat menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1.      Fahsya` adalah perbuatan tercela yang dinikmati oleh si pelakunya, padahal begitu berbahayanya perbuatan itu buat dia sendiri.
2.      Munkar adalah perbuatan tercela yang sudah bulat ditolak mentah-mentah oleh semua elemen kehidupan, baik itu akal, syariat, bahkan kebiasaan manusia.
3.      Syarr adalah kejelekan yang melekat pada manusia, yang dianggap tercela oleh Islam dan menjadi awal dari kerusakan.
4.      Suu`u adalah kejahatan atau kejelekan yang di dapat setelah kita melakukan sesuatu.
4.2 Saran
Setelah menganalisis permasalahan ini, penulis menyarankan kepada para pembaca untuk menelaah secara lebih mendalam permasalahan ini, karena masih banyak hal yang belum penulis buka yang memang berkaitan dengan ilmu penulis yang terbatas.




DAFTAR PUSTAKA

Al-Asfahany, Husein bin Muhammad bin Fadhl Abul Qasim                                               2007 Mu’jam Mufradat Alfadzil Quran. Beirut: Dar Al-Fikr
Al-Jazairy, Abu Bakar                                                                                                            tanpa tahun Aisatu Tafassir. Tanpa tempat. Tanpat penerbit.
Al-Jazari, Abu Sa`adah Al-Mubarak bin Muhammad                                                            1979 An-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar. Beirut: Maktab Ulumiyah
Alwasilah, A. Chaedar                                                                                                            2008 Pokoknya Kualitatif. Jakarta: Pustaka Jaya.
An-Naisabury, Abu Ishaq                                                                                                       2002 Al-Kasyfu wa Al-Bayan: Mawafiqi Lil Matbu’. Cet II, Libanon: Dar  An-Nashr
An-Nawawi, Abu Hayyan                                                                                                      tanpa Tahun Bahrul Muhith. Tanpa tempat. Tanpa penerbit.
Az-Zamakhsyary, Abul Qasim Mahmud bin Amr bin Ahmad                                              tanpa tahun Asasul Balaghah. Tanpa tempat: tanpa penerbit
Departemen Agama RI                                                                                                           2005 Al-Quran dan Terjemahnya. Jakarta: Pustaka Amani
Humaid, As’ad                                                                                                           Tanpa tahun Aisatu Tafassir. Tanpa tempat: tanpa Penerbit.
Ibnu ajibah                                                                                                                              Tanpa tahun Bahrul Madid. Tanpa tempat: tanpa penerbit.
Ibnu Jauzy                                                                                                                              tanpa tahun Tashil li Uluum At-Tanzil. Tanpa tempat: tanpa penerbit.
Katsir, Abul Fida Ismail bin Umar bin                                                                       1999    Tafsir Al-Quranul Adzim. Tanpa Tempat: Dar Thayyibah
Nurdin, Ali                                                                                                                  2006 Quranic Sociaty: Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam Al-Quran. Tanpa tempat: penerbit Erlangga
Zed, Mestika                                                                                                                           2008 Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Buku Obor.
LAMPIRAN DATA

Fahsya
1.    dosa-dosa yang melampaui batas dalam kejelekannya. (As’ad Humaid, Aisaru Tafassir, CD I: 1991)
2.      setiap tabi’at yang jelek seperti zina, liwath (homoseksual), bakhil, dan seluruh kemaksiatan yang mengandung kejelekan yang sangat. (Al-Jazairiy, Aisaru Tafassir, CD I: 71)
3.      kalimat/ perkataan yang buruk. (abu Hayyan An-Nahawi, Bahrul Muhith, CD 3:47)
4.      dosa yang mempunyai had. Dan suu`u adalah dos yang tidak terkena had. (Ibnu ‘Ajibah, Bahrul Madid, CD I: 133)
5.      kepercayaan selain kepada Allah (tafsir surat An-Nahl ayat 90). (Ibnu ‘Ajibah, Bahrul Madid, CD III: 293)
6.     setiap perkara yang medapat had di dunia dari kemaksiatan baik itu dari perkataan maupun perbuatan, dan suu`u adalah bagian dari dosa yang tdak mendapat had di dunia). (Al-Kasyfu wa Al-Bayan: Mawafiqi Lil Matbu’, Abu Ishaq An-Naisabury, Dar An-Nasyr, Dar Al-Ihya At-Turats Al-Araby, beirut-Libanon, 1442 H/2002 M, cet 1, II: 39)
Munkar
1.      . apa yang akal tolak (inkari) dari perbuatan yang jelek. (As’ad humaid, Aisaru tafassir, CD 1: 1999
2.      apa yang ditolak oleh syariat (As’ad Humaid, Aisaru tafaasir, cd 1:2694)
3.      Munkar adalah apa2 yang ditolak syariat, dan menolaknya juga fitrah yang sehat dan akal bersih. (Abu Bakar Al-Jazairiy, Aisaru Tafassir, CD II: 319)
4.      Munkar lebih umum dari fahsya, karena munkar mencakup semua kemaksiatan (tashil li uluum at-tanzil, ibnu jauzy, CD I:859
5.      Setiap yang syariat jelekkan, haramkan, dan benci maka itu adalah munkar. (abu sa’adah al-mubarak bn muhammad al-jazari, an-nihayah fi gharibil hadits wal atsar, maktabah ulumiyyah, beirut, 1979:5/420)
6.      Keluar dari adab yang baik. (abul qasim mahmud bin amr bin ahmad az-zamakhsyari, asasul balaghah, CD I:284).
7.      “dan laksanakanlah salat. Sesungguhnya salat itu menghindarkan dari (perbuatan) keji dan munkar.” (Depag RI, 2005: 566)
8.      “...dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemunkaran, dan permusuhan...” (Depag RI, 2005: 377)
9.      “wahai anakku! Laksanakanlah shalat dan suruhlah (manusia) berbuat yang makruf dan cegahlah (mereka) dari yang munkar....” (Depag RI, 2005: 582)
10.  “... menyuruh berbuat makruf dan mecegah dari yang munkar...” (Depag RI, 2005: 275)
11.  “sesungguhnya bertaubat kepada Allah itu hanya (pantas) bagi mereka yang melakukan kejahatan karena tidak mengerti....” (Depag RI, 2005: 104)

Tidak ada komentar :

Posting Komentar