BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Sejak jaman Nabi adam AS hingga saat ini, manusia Allah ciptakan
dalam keadaan berkelompok dan mempunyai naluri untuk bersosial, hal ini senada
dengan apa yang Allah sebutkan dalam firman-Nya surat Al-Hujurat ayat 13:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ
وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا...الآية.
“Wahai
manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
agar kamu saling mengenal...” (Departemen Agama RI, 2005: 745)
Tentunya dalam setiap kelompok masyarakat, terlebih
yang di dalamnya terjalin komunikasi satu sama lainnya, sosok seorang pemimpin
sangatlah urgen keberadaannya, pemimpin yang memang mempunyai kapabilitas untuk
membawa umatnya menuju jalan yang Allah ridhai. Satu diantara sekian banyak
pemimpin yang Allah turunkan adalah Muhammad SAW, Muhammad SAW mempunyai
kelebihan dari pemimpin lainnya, terlebih dengan Al-Quran sebagai kitab suci
yang menjadi pedoman untuknya dan para pengikutnya.
Al-Quran diturunkan dalam bahasa Arab, sebagaimana
firman Allah dalam surat Yusuf ayat 2:
إِنَّا
أَنْزَلْنَاهُ قُرْآَنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ.
“sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Qur’an berbahasa Arab, agar
kamu mengerti.” (Depag RI, 2005: 31)
Dengan turunnya Al-Quran dalam bahasa Arab, mau tidak mau menjadi
penyebab pentingnya bahasa Arab untuk difahami, terlebih bagi umat Islam,
pemahama akan arti dan makna dari bahasa Arab sangatlah penting, apalagi yang
berkaitan dengan ayat Al-Quran.
Pada kesempatan ini, penulis akan meneliti mengenai makna semantik
dari kata “jelek atau jahat” dalam bahasa Arab, yang meliputu kata fahsya`,
munkar, suu`u, dan syarru juga pemakaian kata-kata ini di
dalam Al-Quran. Sebagai contoh kita mendapatkan sebuah ayat seperti:
...وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ
وَالْمُنْكَرِ....الآية. (العنكبوت:
٤٥)
مِن شَرِّ
الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ ﴿النّاس:٤﴾
...أُولَـٰئِكَ
لَهُمُ اللَّعْنَةُ وَلَهُمْ سُوءُ الدَّارِ ﴿الرعد:٢٥)
Walaupun di dalam bahasa Indonesia, kalimat seperti fahsya`,
minkar, syarru, dan suu’u memiliki arti yang sama, tetapi
ada alasan-alasan tertentu yang menyebabkan mengapa kalimat itu yang dipakai
dalam ayat bersangkutan, dan ini juga yang menjadi tujuan penulis dari
penelitian ini.
Dalam kenyataannya, banyak dari umat Islam yang tidak tahu menahu
mengenai perbedaan makna ini, sehingga tidak jarang banyak dari umat Islam
sendiri yang salah memahami dan menanggapi seperti ayat-ayat di atas. Dengan
latar belakang itu penulis tertarik untuk membuat karya ilmiah dengan judul
“KATA “BURUK” DALAM BAHASA ARAB DAN PENGGUNAANNYA DI DALAM AL-QURAN” Penulis
berharap pembaca dapat memahami arti dari setiap kata dengan berlanjut menjadi
bisa menbedakan karakter dan ciri dari kata tersebut (dalam kehidupan riil),
sehingga pembaca terhindar dari salah faham karena ketidaktahuannya, dan
pembaca mampu lebih menyiapkan lagi diri secara dalam menghadapi dunia sebagai seorang muslim.
1.2
Identifikasi Masalah
Masalah yang akan diidentifikasi dalam karya ilmiah ini adalah
sebagai berikut:
1.
Apa arti dari fahsya`, munkar, syarru, dan suu`u?
2.
Apa hubungan makna antara
fahsya`, munkar, syarru, dan suu`u dengan ayat
Al-Quran dan Hadits yang menggunakan kata-kata tersebut?
3.
Makna apa saja yang terkandung dalam masing-masing kalimat?
1.3
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
memahami arti dari fahsya`, munkar, syarru,
dan suu`u
2.
mengetahui ayat AL-Quran dan hadits yang menggunakan kata fahsya`,
munkar, syarru, dan suu`u
3.
memahami makna-makna yang terkandung dari fahsya`, munkar,
syarru, dan suu`u
1.4
Kegunaan Penelitian
Kegunaan dari penelitian kajian semantik ini terdiri dari kegunaan
secara praktis dan kegunaan secara teoritis.
Kegunaan praktis ialah kegunaan yang bisa dirasakan dan
dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu sebagai berikut:
1.
Menjadi pemicu untuk lebih memperdalam lagi ilmu Al-Quran.
2.
Sebagai penambah pengetahuan tentang Islam, dan memahami makna yang
terkandung dalam Al-Quran.
3.
Sebagai media muhasabah terhadap kesalahan-kesalahan yang pernah
dilakukan.
Kegunaan teoritis ialah kegunaan yang dapat diterapan dalam bidang
keilmuan, yaitu sebagai berikut:
1.
Membedakan makna-makna yang terkandung dalam bahasa arab, terlebih
makna kalimat yang mempunyai arti hampir sama.
2.
Menerapkan teori pembedaan kata dalam bahasa Arab di dalam kegiatan
keilmuan.
3.
Menambah khazanah penegetahuan, khususnya dalam bidang tata bahasa
Arab.
1.5
Kerangka Karangan
Dalam penelitian ini, akan digunakan teori-teori atau
pendapat-pendapat yang relevan dengan masalah yang penulis teliti. Untuk
mengkaji makna semantik kalimat fahsya` penulis menggunakan teori Al-Asfahany
(2009), An-Naisabury (2002), Ibnu Ajibah
(tanpa tahun), dan Al-Jazairy (tanpa tahun). Untuk mengkaji makna semantik dari
kalimat munkar penulis menggunakan teori As’ad Humaid (tanpa tahun), Al-Jazari
(1979), Az-Zamakhsary (tanpa tahun), dan Ibnu Jauzy. Untuk mengkaji makna dari
kalimat syarru penulis menggunakan metode Chodjim (t.tahun), Ridha
(2007), At-Tunisy (2000), dan Al-Asfahany (2007). Dan untuk mengkaji makna
kalimat suu’u penulis menggunakan metode Al-Asfahany (2007), Al-Jazairy
(t.tahun), dan An-Naisabury (2002).
1.6 Metode Penelitian
Metode yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah metode
desriptif analitik. Metode deskriptif ialah dengan menyajikan data “yang berisi
informasi faktual yang menggambarkan segala sesuatu apa adanya.’ (Zed, 2008:
56), sedangkan analitik ialah “peneliti memiliki pemahaman terhadap bahasa
sasaran.” (Alwasilah, 2008: 69)
Adapun langkah yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah:
-
Studi kepustakaan, yaitu dengan mencari dan menyimpulkan data yang
terkumpul dari sumber-sumber litelatur yang relevan dengan tema penelitian.
-
Menganalisis makna semantik dari setiap kalimat dan mengungkap
keterkaitan dengan ayat Al-Quran dan hadits yang menggunakan kata tersebut.
1.7 Sumber Data
Sumber data yang penulis gunakan dalam penelitian ini terdiri dari
sumber data primer dan sumber data sekunder.
-
Sumber data primer adalah diambil dari Al-Quran dan Hadits.
-
Sumber data sekunder diambil dari sumber-sumber lain seperti
buku, jurnal, dan sebagainya yang berkaitan dengan tema penelitian.
BAB
II
LANDASAN
TEORI
2.1 Definisi Kata
2.1.1 Definisi Fahsya`
Istilah fahsya`
bagi umat Islam sendiri adalah sebuah istilah yang sudah tidak asing lagi
keberadaannya, seringkali istilah kita jumpai disaat membaca
litelatur-litelatur keislaman, mendengar ceramah saat shalat jumat atau
pengajian (baik langsung maupun lewat media), bahkan untuk mereka yang
merupakan aktivis-aktivis dakwah kampus, istilah ini sering disebut-sebut juga
dalam sebagian diskusi mereka. Namun apakah hal ini menjamin bahwa yang bicara
dan yang mendengar faham akan makna fahsya` itu sendiri?
Fahsya` adalah “apa-apa yang besar kejelekan/kejahatannya baik itu
dari perkataan maupun perbuatan.” (Al-Ashfahany,
2009: 282, Halim, 1995: 113), dari pendapat ini terlihat bahwa fahsya` berkisar
dalam masalah akhlak yang meliputi perkataan dan perbuatan, perbuatan dan
perkataan yang mengandung kejelekan maka itu termasuk ke dalam kategori
fahsya`. Lalu apa bedanya dengan dosa? Maka untuk menjawab pertanyaan ini hal
yang patut digarisbawahi dari pendapat di atas ialah kalimat “besar”, dengan
demikian yang membedakan antara dosa dan fahsya` sebagaimana pendapat
dari Humaid (CD, t.tahun: 1/1991) menyatakan bahwa fahsya` hanya
terbatas pada kejahatan (dosa) yang keburukannya melampaui batas terhadap orang
lain. Berbeda dengan pendapat sebelumnya, An-Nahawi (t.tahun, 3/47) menyatakan
bahwa fahsya’ hanya beskisar pada perkataan dan ucapan-ucapan yang buruk saja,
tidak dengan perbuatan.
Ibnu Abbas ra berpendapat bahwa uang dimaksud dengan fahsya`
adalah “setiap perkara yang mendapat had di dunia dari kemaksiatan baik itu dari
perkataan maupun perbuatan.” (An-Naisabury, CD, 2002: 2/39, Ajibah, CD, t.tahun:
1/133), dari pendapat Ibnu Abbas di atas dapat difahami bahwa fahsya’ juga
selain sifat jeleknya yang melampaui batas, fahsya` juga ditandai dengan adanya
hukuman (dalam syariat Islam) di dunia yang disebabkan karena melakukannya.
Maka karena itu Al-Jazairy (CD, t.tahun: 1/71) mengatakan bahwa tabiat-tabiat
buruk seperti zina dan liwath (homoseksual) termasuk kedalam kategori fahsya`,
bahkan menurut Quthb (2000: 367) takut akan kemiskinan pun termasuk ke dalam fahsya`.
“Kata fahisyah berasal dari akar kata fa, ha
dan syin yang secara keseluruhan mengandung arti “keburukan”. Secara
bahasa kata ini kemudian diartikan sebagai segala perbuatan yang dinilai sangat
buruk oleh agama, budaya, naluri kemanusiaan dan akal yang sehat, menyangkut
ucapan atau perbuatan.” (Nurdin, 2006: 211).
Pendapat
terakhir ini nampaknya pendapat yang paling mewakili dari semua pendapat yang
disebutkan sebelumya, karena perbuatan-perbuatan seperti zina, mencuri,
membunuh dan sebagainya bukan hanya dalam pandangan agama (Islam), tetapi dari
sudut budaya dan akal pun hal-hal itu termasuk perbuatan tercela, maka fahsya
pun sering orang sebut dengan perbuatan keji. Keji sendiri berarti “hina,
sangat
rendah (kotor, tidak sopan, dan sebagainya).” (Pusat Bahasa, 2008: 665).
2.1.2
Definisi Munkar
Selain fahsya` ada satu lagi
istilah yang bahkan lebih sering di dengar oleh masyarakat pada umumnya, yaitu munkar.
Munkar memang merupakan istilah yang menggambarkan keburukan dalam
bahasa arab selain fahsya`, bahkan terkadang kedua istilah ini dalam
beberapa ayat disebutkan secara berurutan.
Yunus (t.tahun: 468) menyatakan bahwa munkar
adalah hal-hal yang Allah tidak ridhai dan bersifat keji, munkar juga merupakan
kebalikan dari makruf, karena munkar berasal dari akar kata nakira-yankaru-nakran
yang mempunyai arti tidak diketahui. Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa
setiap yang syariat jelekkan, haramkan, dan benci maka itu adalah munkar.”
(Al-Jazari, CD, 1979: 5/420). Al-Jazairy (CD, t.tahun: 2/319) menjelaskan bahwa
munkar sesuatu yang bukan hanya ditolak oleh syariat agama, akan tetapi akal sehat
dan fitrah kita sebagai manusia pun menolaknya. Dan masih ada ulama seperti
Humaid (CD, t.tahun: 1/1999, 2694), yang juga berpendapat bahwa munkar adalah
susuatu yang ditolak (diinkari) oleh syariat karena kejelekannya. Sementara
Az-Zamakhsyary (CD, t.tahun: 1/284) menyatakan bahwa munkar lebih identik
dengan akhlak, yakni akhlak yang keluar dari adab baik.
Dari pendapat-pendapat di atas hampir
semuanya menggambarkan bahwa munkar adalah sesuatu yang tidak diterima keberadaannya
karena hal itu amatlah jelek sifatnya, bahkan “munkar lebih umum dari fahsya`,
karena munkar mencakup semua kemaksiatan.” (Ibnu Jauzy, CD, t.tahun: 1/859)
2.1.3
Definisi Syarr/ Syarru
Selain fahsya` dan munkar yang
sering disebutkan secara berbarengan, dalam bahasa Arab masih ada istilah lain
yang mewakili kata buruk dalam bahasa Indonesia, salah satunya yaitu kata Syarr/
Syarru.
Berbeda dengan fahsya`
maupun munkar, syarr lebih ringan sifat kejelekannya dari fahsya’
dan munkar, bahkan terkadang syarr digunakan pada ranah yang
berbeda, bukan lagi berkisar hanya pada hal yang berbentuk amalan seperti fahsya`
dan munkar, syarr terkadang berada di luar itu. “Syarr
(kata jamaknya, syurur) mempunyai arti sakit, jahat, buruk: penyebab
rasa sakit, penyebab kejahatan, malapetaka, bencana; rusak, merusak, rugi,
merugikan, bahaya, dan membahayakan.” (Chodjim, t.tahun: 55), Ibnu Qayyim
Al-Jauziyah berpendapat bahwa “rasa sakit dan penyebab rasa sakit atau bersifat
sebab dan akibat.” (Chodjim, t.tahun: 55). Sementara itu Ridha (2007: 228)
menyatakan bahwa segala hal yang dapat menimbulkan bahaya, kejelekan, bahkan
kejahatan itu termasuk ke dalam Syarr. Dari perenyataan-pernyataan di
atas, kata syarr lebih identik kepada sebab daripada akibat, dalam
artian, mereka berpendapat bahwa syarr adalah predikat untuk
perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan kerugian bilamana kita melakukannya. Itu
makanya Nurdin (2006: 213) berpendapat bahwa dua cakupan dari syarr,
yaitu kepedihan dan yang mengantarkan
pada kepedihan itu.
Namun berbeda
dengan pendapat diatas, At-Tunisy (2000: 1/2592) menjelaskan bahwa syarr
merupakan sebutran untuk perebuatan-perbuatan yang mengantarkan pelakunya ke
pusat atau inti tipu muslihat. Dalam artian, orang yang telah melakukan
perbuatan syarr, maka dia sebenarnya telah sampai ke dalam tipu daya
yang disiapkan oleh musuhnya. Dan penulis menukil juga pendapat Al-Asfahany
(2007: 193) yang menyatakan bahwa syarr adalah segala sesuatu yang tidak disukai.
Lawan dari khair, yaitu segala sesuatu yang disukai.
2.1.4 Definisi Suu`u
Kata terakhir
yang penulis masukkan dalam pembahasan ini adalah suu’u, alasan dari
pemilihan mengapa kata ini yang penulis pilih, karena kata suu’u juga
banyak dan sering digunakan masyarakat pada kegiatan sosial segari-hari,
kalimat seperti suu-udzan, suu’ul khatimah, atau yang lainnya,
sering kita dengar keluar dari mulut teman, saudara, hingga orang tua.
Kata suu-u, masih menurut Al-Asfahany (2007: 185), beliau
menjelaskan bahwwa suu’u adalah setiap hal yang dibenci, dan suu`u
adalah kebalikan dari husnun. Sedangkan menurut Al-Jazairy (CD, t.tahun:
1/71) suu`u adalah segala sesuatu yang merusak jiwa dan membuat sedih
orang yang terkena suu’u ini (menderita), dan setiap hal yang merugikan (dosa) maka itu juga disebut
sebagai sebuah ke-suu`u-an. Dan menurut An-Naisabury (2002: 2/ 39) yang
menukil pendapat Ibnu Abbas menerangkan bahwa suu’u adalah kesalahan
atau dosa yang tidak akan mendapatkan had (hukuman) secara hukum ketika masih
di dunia. Berlandaskan pendapat ini pula banyak yang berpendapat bahwa suu`u
merupakan kebalikan dari fahsya`.
Tidak banyak sumber mengenai suu’u, akan tetapi meski hanya dari
dua sumber, dapat ditarik satu titik persamaan bahwa suu’u menurut para
ulama di atas adalah hal-hal yang sifatnya dibenci karena mengakibatkan
kesusuhan, karena secara makna keseluruhan, kata suu`u dengan kata
lainnya tidak ada perbedaan yang mencolok, hanya mungkin dalam segi penempatan,
kata suu`u juga sama dengan kata jelek/buruk dalam bahasa arab lainnya
yang mempunyai alasan-alasan tertentu.
2.1.5 Kalimat lain
Selain kata-kata yang empat di atas, sebenarnya masih banyak
kalimat dalam bahasa arab yang mewakili arti jelek atau buruk dalam bahasa
indonesia, penulis mencoba menghadirkan beberapa definisi di luar keempat kata
tadi sebagai penambah ilmu dan pemahaman pembaca semua.
Baghyu, adalah sebutan untuk “dzalim, melanggar peraturan, dan sombong
kepada manusia.” (Humaid, CD, t,tahun: 1/1991)
“Khabits, maksudnya najis.” (Ibnu Atsir, 4/330). Namun
banyak juga yang menggunakan kata ini untuk menggambarkan kejelekan,
khususnya kejahatan yang kita sebut itu
berasal dari syetan.
Dan masih banyak yamg lainnya.
2.2 penggunaan
kata fahsya`, munkar, syarr, dan suu`u dalam Al-Quran
وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ
الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ
“dan laksanakanlah salat. Sesungguhnya salat itu menghindarkan dari
(perbuatan) keji dan munkar.” (Depag RI, 2005: 566)
Maksudnya, “jika mendirikan salat dalam kehidupan sehari-hari, akan
membawa pada meninggalkan perbuatan Fahsya` (keji) dan munkar.” (Katsir, 1999:
6/280)
... وَيَنْهَى
عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“...dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji,
kemunkaran, dan permusuhan...” (Depag RI, 2005: 377)
يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ
وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ...
“wahai anakku! Laksanakanlah shalat dan suruhlah (manusia) berbuat
yang makruf dan cegahlah (mereka) dari yang munkar....” (Depag RI, 2005: 582)
...الآمِرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّاهُونَ عَنِ الْمُنكَرِ...
“... menyuruh berbuat makruf dan mecegah dari yang munkar...”
(Depag RI, 2005: 275)
إِنَّمَا التَّوْبَةُ عَلَى اللَّهِ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السُّوءَ
بِجَهَالَةٍ...
“sesungguhnya bertaubat kepada Allah itu hanya (pantas) bagi mereka
yang melakukan kejahatan karena tidak mengerti....” (Depag RI, 2005: 104)
BAB III
ANALISIS DAN
PEMBAHASAN
Al-Quran sebagai wahyu Allah sekaligus mukjizat yang Allah turunkan
untuk Nabi Muhammad SAW begitu agung dengan kesempurnaan dan keistimewaannya,
bahasanya yang indah dan mengandung makna yang dalam redaksi yang singkat tidak
bertele-tele. Al-Qur’an yang diturunkan dalam waktu 23 tahun melalui perantara
malaikat Jibril dengan berbagai bentuk seperi gemerincing lonceng hingga
deburan gelombang yang membuat Rasulallah menggigil berat saat menerimanya.
Penulis akan mengutarakan hasil penelitian yang penulis analisis mengenai
Al-Quran, yang terfokus pada pembahasaan kata fahsya`, munkar, syarr,
dan suu`u.
3.1
hakikat Fahsya` dan Munkar
Melihat pengertian dari fahsya` dan munkar pada bab
sebelumnya, tentunya kita sudah bisa mengetahui lebih mengenai dua hal ini,
apalagi dengan ditambah adanya tuntutan Allah SWT kepada kita untuk menjauhi
kedua hal ini, membuat kita harus memahami makna dari fahsya` dan munkar
itu sendiri.
Namun terkadang, kita masih belum bisa membedakan mana fahsya`
dan mana munkar, terlebih disaat harus mengantisipasi kedua hal ini,
tidak menutup kemungkinan hal ini masih terjadi meski pembaca sudah melihat dan
membaca pengertian fahsya` dan munkar pada bab sebelumnya di
dalam karya tulis ini.
Pada suatu kesempatan, penulis pernah mendengar seorang kyai
berbicara saat sedang menjadi khatib dalam shalat Jumat, beliau berbicara
seputar fahsya` dan munkar, beliau menjelaskan bahwa perbedaan
makna antara fahsya` dan munkar itu dari segi sifat akibatnya,
dimana fahsya` mempunyai sifat merusak dan merugikan dari apa yang
dilakukan yang kerugiannya hanya dirasakan oleh si pelaku saja, sedangkan munkar
adalah kesalahan yang akibat dari kesalahan itu bukan hanya dirasakan oleh diri
si pelakunya saja, tetapi bagi orang lain pun kemadlaratan dan kerugian yang
diakibatkan perbuatan munkar ini terasa oleh yang lain. Lalu apakah demikian
adanya?
Hal ini bisa jadi benar apa adanya, karena perbuatan fahsya`
seperti mencuri, zina, membunuh dan sebagainya, akibat buruknya lebih terasa
oleh diri sendiri, oleh si pelaku sendiri, mulai dari hukuman penjara hingga
setingkat penyakit HIV-AIDS semua itu hanya akan dirasakan dan ditanggung oleh
si pencuri, pembunuh, pezina, atau pelaku dosa yang lainnya saja, sedangkan
orang lain yang berada di sekitarnya terbebas dari akibat buruk yang disebabkan
oleh apa yang dilakukan oleh si pelaku. Sedangkan perbuatan yang bersifat munkar,
pada umumnya selain merugikan si pelaku, orang lain pun mendapat imbas kerugian
dari perbuatan itu.
Namun hal ini masih mempunyai celah kelemahan untuk dipertahankan,
karena perbuatan seperti mencuri dan berzina juga pada hakikatnya bahkan
terlihat secara riil, memberikan kerugian bagi orang sekitar apalagi mereka
yang menjadi korban, misalnya para korban pencurian, mereka harusa merasa rugi
dengan hilangnya hak milik mereka yang dirampas oleh si perampok, begitu juga
dengan reputasi dan harga diri sebuah keluarga menjadi taruhan utama yang rawan
saat salah satu anggota keluarga mereka kedapatan melakukan perzinaan, apalagi
kalau misalnya melihat kasus-kasus seperti aborsi, para janin jelas-jelas
sebagai bukti nyata bahwa perbuatan fahsya` juga memberikan kemadlaratan
dan kerugian bagi yang lain diluar pelakunya saja.
Sedangkan menurut analisis penulis, kata fahsya` lebih ke perbuatan
hina yang justru si pelaku itu malah merasa nyaman dengan apa yang dia lakukan,
perbuatan yang bahkan bisa menimbulkan sifat adiktif kepada pelakunya, hal ini
memang wajar, karena menurut firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 268.
الشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُمْ
بِالْفَحْشَاءِ...
“Syetan menjanjikan (menakut-nakuti) kemiskinan kepadamu dan
menyuruhmu berbuat keji (kikir)...” (Depag RI, 2005: 56)
Ayat ini diperkuat dengan sebuah hadits riwayat bukhari yang menyatakan
bahwa neraka ditutupi oleh syetan itu dengan apa yang kita suka (syahwat)
dan menutupi syurga dengan apa yang kita benci.(Bukhari)
menjelaskan mengenai fahsya` yang berkaitan dengan ayat di
atas dan pastinya dengan apa yang kita bahas sekarang.
Sedangkan munkar lebih cenderung kepada perbuatan-perbuatan
yang tidak diterima tentang kebenaran dan keberadaannya, apalagi munkar adalah
kebalikan dari makruf, sebagai mana kita ketahui bahwa makruf yang
berasal dari kata ‘arafa yang berarti diketahui atau dikenal, muksudnya
diketahui dan dikenal kebaikannya, oleh karena itu makruf diterima oleh
syariat, akal, naluri, dan sebagainya, sedangkan munkar, karena dari
sikap itu tidak terlihat atau dikenal kebaikannya, justru malah kejelekannya
yang nampak, maka perbuatan-perbuatan seperti itu ditolak dan diinkari
kebenarannya baik oleh syariat, akal, maupun naluri.
3.2 Syarr
Syarr berbeda dengan fahsya’ maupun munkar, bila fahsya`
dan munkar identik dengan sifat sebuah perbuatan secara menyeluruh, syarr
yang dapat penulis rangkum dari apa yang telah penulis analisis dari data
sebelumnya, bahwa syarr memang lebih condong ke sesuatu yang bisa
menyebabkan keburukan dan kejelekan ke depannya, dan itu juga bisa dilihat
khususnya dalam surat An-Nas dan Al-Falaq.
Namun dari analisis penulis pribadi, bahwa al-syarr adalah
kebalikan dari khair, khair adalah sesuatu yang pandai dan benar
menurut pandangan penutur, maka otomatis menurut pandangan yang lainnya belum
tentu hal itu juga sama baiknya, maka bila keadaan khair begitu, maka syarr
adalah sesuatu yang dianggap jelek menurut penuturnya, dan belum tentu hal itu
lebih baik bila ditanya menurut
pandangan yang lainnya.
3.3 Suu`u
Sedangkan suu’u, menurut analisis penulis lebih kepada
kebalikan dari hasanah, yaitu kejelekan yang diakibatkan oleh sesuatu,
seperti halnya hasanah yang menggambarkan sesuatu hal baik yang kita
dapatkan karena kita melakukan sesuatu. Disini posisinya yaitu sebagai akibat
dari sebuah perbuatan.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Simpulan
Berdasarkan analisis penulis terhadap data-data, maka
penulis dapat menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1.
Fahsya` adalah perbuatan tercela yang dinikmati oleh si pelakunya,
padahal begitu berbahayanya perbuatan itu buat dia sendiri.
2.
Munkar adalah perbuatan tercela yang sudah bulat ditolak mentah-mentah oleh semua elemen kehidupan,
baik itu akal, syariat, bahkan kebiasaan manusia.
3.
Syarr adalah kejelekan yang melekat pada manusia, yang dianggap tercela
oleh Islam dan menjadi awal dari kerusakan.
4.
Suu`u adalah kejahatan atau kejelekan yang di dapat
setelah kita melakukan sesuatu.
4.2 Saran
Setelah menganalisis permasalahan ini, penulis menyarankan kepada para
pembaca untuk menelaah secara lebih mendalam permasalahan ini, karena masih
banyak hal yang belum penulis buka yang memang berkaitan dengan ilmu penulis
yang terbatas.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Asfahany, Husein bin Muhammad bin Fadhl Abul Qasim 2007
Mu’jam Mufradat Alfadzil Quran. Beirut: Dar Al-Fikr
Al-Jazairy, Abu Bakar tanpa
tahun Aisatu Tafassir. Tanpa tempat. Tanpat penerbit.
Al-Jazari, Abu Sa`adah Al-Mubarak bin Muhammad 1979
An-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar. Beirut: Maktab Ulumiyah
Alwasilah, A. Chaedar 2008
Pokoknya Kualitatif. Jakarta: Pustaka Jaya.
An-Naisabury,
Abu Ishaq 2002
Al-Kasyfu wa Al-Bayan: Mawafiqi Lil Matbu’. Cet II, Libanon: Dar An-Nashr
An-Nawawi, Abu Hayyan tanpa
Tahun Bahrul Muhith. Tanpa tempat. Tanpa penerbit.
Az-Zamakhsyary, Abul Qasim Mahmud bin Amr bin Ahmad tanpa
tahun Asasul Balaghah. Tanpa tempat: tanpa penerbit
Departemen Agama RI 2005
Al-Quran dan Terjemahnya. Jakarta: Pustaka Amani
Humaid, As’ad Tanpa
tahun Aisatu Tafassir. Tanpa tempat: tanpa Penerbit.
Ibnu ajibah Tanpa
tahun Bahrul Madid. Tanpa tempat: tanpa penerbit.
Ibnu Jauzy tanpa
tahun Tashil li Uluum At-Tanzil. Tanpa tempat: tanpa penerbit.
Katsir,
Abul Fida Ismail bin Umar bin 1999 Tafsir
Al-Quranul Adzim. Tanpa Tempat: Dar Thayyibah
Nurdin, Ali 2006
Quranic Sociaty: Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam Al-Quran. Tanpa
tempat: penerbit Erlangga
Zed, Mestika 2008
Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Buku Obor.
LAMPIRAN DATA
Fahsya
1.
dosa-dosa yang melampaui batas dalam kejelekannya. (As’ad Humaid,
Aisaru Tafassir, CD I: 1991)
2.
setiap tabi’at yang jelek seperti zina, liwath (homoseksual),
bakhil, dan seluruh kemaksiatan yang mengandung kejelekan yang sangat.
(Al-Jazairiy, Aisaru Tafassir, CD I: 71)
3.
kalimat/ perkataan yang buruk. (abu Hayyan An-Nahawi, Bahrul
Muhith, CD 3:47)
4.
dosa yang mempunyai had. Dan suu`u adalah dos yang tidak terkena
had. (Ibnu ‘Ajibah, Bahrul Madid, CD I: 133)
5.
kepercayaan selain kepada Allah (tafsir surat An-Nahl
ayat 90). (Ibnu ‘Ajibah,
Bahrul Madid, CD III: 293)
6.
setiap perkara yang medapat had di dunia dari kemaksiatan
baik itu dari perkataan maupun perbuatan, dan suu`u adalah bagian dari dosa
yang tdak mendapat had di dunia). (Al-Kasyfu wa Al-Bayan: Mawafiqi Lil Matbu’,
Abu Ishaq An-Naisabury, Dar An-Nasyr, Dar Al-Ihya At-Turats Al-Araby,
beirut-Libanon, 1442 H/2002 M, cet 1, II: 39)
Munkar
1.
. apa yang
akal tolak (inkari) dari perbuatan yang jelek. (As’ad humaid, Aisaru tafassir,
CD 1: 1999
2.
apa yang ditolak oleh syariat (As’ad Humaid, Aisaru
tafaasir, cd 1:2694)
3.
Munkar adalah apa2 yang ditolak syariat, dan menolaknya juga fitrah
yang sehat dan akal bersih. (Abu Bakar Al-Jazairiy, Aisaru Tafassir, CD II:
319)
4.
Munkar lebih umum dari fahsya, karena munkar mencakup semua
kemaksiatan (tashil li uluum at-tanzil, ibnu jauzy, CD I:859
5.
Setiap yang syariat jelekkan, haramkan, dan benci maka itu adalah
munkar. (abu sa’adah al-mubarak bn muhammad al-jazari, an-nihayah fi gharibil
hadits wal atsar, maktabah ulumiyyah, beirut, 1979:5/420)
6.
Keluar dari adab yang baik. (abul qasim mahmud bin amr bin ahmad
az-zamakhsyari, asasul balaghah, CD I:284).
7.
“dan laksanakanlah salat. Sesungguhnya salat itu menghindarkan dari
(perbuatan) keji dan munkar.” (Depag RI, 2005: 566)
8.
“...dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji,
kemunkaran, dan permusuhan...” (Depag RI, 2005: 377)
9.
“wahai anakku! Laksanakanlah shalat dan suruhlah (manusia) berbuat
yang makruf dan cegahlah (mereka) dari yang munkar....” (Depag RI, 2005: 582)
10.
“... menyuruh berbuat makruf dan mecegah dari yang munkar...”
(Depag RI, 2005: 275)
11.
“sesungguhnya bertaubat kepada Allah itu hanya (pantas) bagi mereka
yang melakukan kejahatan karena tidak mengerti....” (Depag RI, 2005: 104)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar