لا يستوى اصحب النار واصحب الجنة اصحب الجنة هم الفائزون
“Tiada sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni
syurga; penghuni-penghuni syurga itulah orang-orang yang beruntung”. QS. Al
Hasyr : 20. (Depag RI. 1992. h. 919).
Beberapa
minggu terakhir, berita mengenai wacana penerapan tes keperawanan sebagai
persyaratan administrasi pendidikan –mulai menengah atas hingga perguruan
tinggi- telah menjadi topik hangat yang menghadirkan beragam pernyataan mulai
dari masyarakat umum, mahasiswa, pakar pendidikan, psikolog, dokter, hingga
menteri pendidikan sekali pun. Tidak bisa dipungkiri, ide yang muncul dari sang
pencetus yang tiada lain merupakan kepala Dinas Pendidikan Kota Prabumulih,
Sumatera Selatan ini, adalah sebuah ekspresi dari keputus-asaan dalam membentuk
sistem pendidikan yang bukan hanya mengedepankan aspek kognitif, tetapi juga aspek
afektif hingga psikomotorik yang merupakan tolak ukur pencapaian suatu proses
pendidikan, lebih jauh dari itu, munculnya wacana ini terlihat sebagai sebuah
ekspresi kekecewaan dan ketakutan dari semakin memburuknya kualitas akhlak
generasi muda saat ini.
Sebagai
seorang muslim, terlebih yang terlibat aktif dalam dunia akademisi, mahasiswa
muslim (apalagi tergabung dalam sebuah lembaga keislaman) mempunyai tanggung
jawab secara riil dan moril akan permasalahan yang tengah melanda dunia pendidikan di negeri
ini, terlepas dari kontroversi yang dihasilkannya, mahasiswa muslim dituntut
mampu menangkap pesan tersirat yang ada pada permasalahan ini, aspek pendidikan
yang begitu vital, tengah diobok-obok dengan mudahnya oleh musuh-musuh islam
pada khususnya dan negeri ini poada umumnya, hingga mampu menghadirkan kepanikan
dan ketakutan yang sangat terhadap masyarakat pada umumnya, selanjutnya dapat
ditebak, segala tindakan yang diambil dan dilakukan dalam keadaan panik dan
ketakutan, tidak akan menghasilkan apa-apa kecuali ketidak-teraturan dan
kekacauan sistem.
Tes Keperawanan; dari etika hingga diskriminasi wanita
dalam
perkembangannya, tes keperawanan yang dianggap sebagai sebuah solusi malah
menghadirkan permasalahan lain yang lebih kompleks, bukan hanya dirasa masalah
oleh siswi/mahasiswi itu sendiri, tetapi dirasa jadi masalah juga oleh mereka
kalangan sosiolog, budayawan, akademisi, hingga kalangan pemerhati agama meski
belum “menyentil” para ulama.
Dalam
masalah sosial, tes keperawanan dianggap sebagai sebuah diskriminasi model baru
bagi kaum perempuan, dimana dengan tes keperawanan, seorang perempuan dengan
begitu mudahnya dihargai dengan penilaian dari sesuatu yang sifatnya relatif,
mengapa disebut relatif, karena beberapa seksolog senada dalam memberikan
pernyataan bahwa selaput dara -yang menjadi objek dalam hal ini- mempunyai
ketebalan masing-masing yang berbeda satu sama lainnya, sehingga bagi yang
tipis, besar kemungkinan bisa robek hanya karena bersepeda atau berkuda. Maka
sungguh dipandang tidak adil jika kehormatan seorang perempuan hanya dinilai
dari segi ini, apalagi hingga menentukan hak perempuan dalam pendidikannya.
Dalam
sudut pandang lain, jika tes keperawanan dilegalkan dan selanjutnya
bertransformasi menjadi sebuah budaya, lagi-lagi ketidakadilan muncul, dalam
wawancaranya, menteri pendidikan dan Kebudayaan mengatakan jika ada tes
keperawanan maka wajib pula adanya tes keperjakaan, sedangkan keperjakaan
sampai saat ini masih belum bisa dibuktikan meski seorang laki-laki kerap
melakukan kebutuhan biologisnya.
Dan
dari segi etika, Departemen Agama menilai bahwa tes keperawanan tidaklah sesuai
dengan etika dan norma, hingga Depag pun mengimbau madrasah untuk tidak
melakukan tes keperawanan ini kepada murid-muridnya.
Nu borok di rorojok, nu teuleum disimbeuhan
Bukan
Indonesia namanya jika tidak melakukan kekonyolan, ibarat sebuah pepatah orang
sunda yang penulis sematkan di atas, bahwa negeri ini tengah kritis dimabuk
kepayang dalam kebobrokan akhlak buah dari budaya barat, semua orang tahu betul
akan hal itu, namun nyatanya, pemerintah malah memberikan izin terhadap
perhelatan dunia dalam mengeksploitasi perempuan, meski banyak kalangan yang
menolak, ajang Miss World tetap mendapatkan izin, bahkan promosinya pun
kini makin massal dilakukan, lagi-lagi alasan yang dilontarkan adalah masalah
pendidikan, dan lagi-lagi ini hanya berkisar di ranah kognitif yang
mengedepankan kecerdasan. Mungkin benar jika ajang ini mengandung sebuah
keuntungan (bukan kemaslahatan), tetapi madharatnya justru sudah terpampang
dengan jelas dan nyata, dan itu lebih besar dari keuntungan yang dijanjikan.
Berkaca pada kaidah ushul, maka langkah preventif lah yang paling tepat kita
lakukan.
درع المفاسد مقدَم على جلب المصالح
“menghilangkan
kemadharatan itulebih diutamakan daripada mendatangkan kemaslahatan”
Sungguh
ironis nasib bangsa ini, sadar tidak sadar, negeri ini telah disulap menjadi
negeri hawa nafsu, sifat materialistik yang diimpor dari barat melalui
globalisasi dan westernisasinya telah menghantar negeri yang luhur akan budi
ini menjadi negeri yang mengedepankan kepuasan materi meski kehormatan bangsa
taruhannya (dan kehormatan umat tentunya), gelap mata dan buta dunia pun ibarat
dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan dari kebanyakan generasi bangsa
ini, padahal mengenai hal ini rasulallah telah mewanti-wantinya jauh-jauh hari.
“Neraka telah ditutup dengan syahwat (hal yang disukai), dan surga
telah ditutup dengan apa yang kalian tidak sukai.” (H.R Al-Bukhari)
Hukum dan Relevansi Tes Keperawatan
Bicara
hukum, sesungguhnya bicara terhadap sesuatu yang inti, membawa pembicaranya ke
dalam sebuah teritorial khusus yang dijaga dengan pengawalan ketat dan
berlapis, ibarat sebuah degung dengan arsip penting nan rahasia, tidak semua
orang bisa dengan mudahnya lalu lalang ditempat itu. Namun sejatinya, masalah
tes keperawanan bukanlah masalah boleh atau tidaknya dilakukan, pun dengan
relevansinya, bukan berkutat antara cocok atau tidaknya tes ini diterapkan,
terlebih selaku seorang muslim, bicara hukum dan kecocokan, meskipun pada
dasarnya sesuatu itu boleh dilakukan, tetapi tetap saja tidak ada lagi yang
menjadi patokan dalam berhukum dan mencocokkan sesuatu kecuali kecocokannya
dengan titah Sang Illahi, Allah SWT.
Namun
bila harus dipaksa mengomentari relevansi tes ini dengan pendidikan Islam, maka
tes ini belum –untuk tidak mengatakan tidak- relevan dengan keadaan saat ini,
selain banyak terkandung kemadharatan di baliknya, nyatanya masih banyak cara
lain yang mampu memberikan efek lebih nyata daripada sekedar melakukan tes ini,
salahsatunya dengan melakukan pendidikan berkarakter. Disamping itu, tes ini
hanyalah akan menjadikan sebuah aib (baik bagi pribadi perempuan atau daerah
secara umum) dikala hasilnya menyatakan banyak dari persentase yang dihasilkan
adalah tidak perawan, sejahat apapun, sebejat apapun, tentunya secara manusiawi
tidak ada perempuan yang tidak ingin perawan, alih-alih mengobati, tes ini bisa
menjadi bumerang dan membuat harga diri perempuan dengan mudahnya jatuh
dihadapan publik. Semua ini sejatinya kembali pada kesadaran dalah bergaul,
beribadah, dan beragama. Dan kesadaran itu sekali lagi hanya bisa dibentuk
dengan pendidikan berkarakter.
Peran Pesantren dan Perguruan Tinggi dalam pembentukan Pendidikan
Berkarakter
Sudah
jadi rahasia umum, jika di Indonesia belum mendapatkan sistem pendidikan yang
cocok dan sesuai dengan kebutuhannya dalam menciptakan pendidikan berkarakter,
dari tahun ke tahun Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan kerap melakukan
bongkar pasang kurikulum pendidikan, siswa dan mahasiswa seolah dijadikan tikus
percobaan yang bisa “mati” kapan saja akibat percobaan yang terlalu sering
namun tidak kunjung mendapatkan yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan.
Padahal, untuk tingkat sekolah, negeri ini telah memiliki model yang paling
tidak mendekati terhadap apa yang dibutuhkan, bahkan dengan beberapa
modifikasi, model ini bisa menjelma menjadi sistem yang benar-benar cocok bagi
pendidikan Indonesia. Ya, madrasah dan pesantren adalah model yang original
diciptakan berdasarkan kebutuhan sosial rakyat indonesia dan umat islam, dengan
pengawasan lebih dari cukup, disertai dengan bimbingan dari tokoh yang lebih
kompeten, pesantren sebetulnya sistem yang paling menawarkan pendidikan
berkarakter dari pada sistem lainnya yang sudah ada. Adapun peranan Perguruan
Tinggi lebih ke ranah penunaian pemahanan yang sudah ada dan didapat pada saat
menempuh pendidikan di jenjang sebelumnya, namun nyatanya, di Perguruan Tinggi
pun masih banyak PR yang perlu diselesaikan, khususnya dalam hal pembumian
pendidikan Al-Quran di Universitas Umum (Negeri dan Swasta).
Berkaca
dari artikel Dr. Ahmad Watik mengenai pendidikan Al-Quran di Perguruan tinggi
(1999: 127), setidaknya ada empat permasalahan yang harus tetap fokus dibenahi.
Pertama, masih banyak dari mahasiswa yang belum mengakui eksistensi Al-Quran
sebagai wahyu. Kedua, Al-Quran masih belum menjadi acuan hidup. Ketiga, belum
tumbuh pemahaman antara ayat kauniyah dan Qauliyah. Dan keempat, kemampuan
dasar yang masih dibawah standar dalam memahami dan menguasai ilmu Al-Quran.
Intinya,
permasalahan tes keperawanan adalah permasalahan kesadaran moril dan agama, dan
kesadaran akan kedua hal itu hanya bisa terwujud melalui pendidikan, dan
masalah pendidikan merupakan masalah yang memerlukan ketegasan sikap dan
kemandirian ideologi dalam membangunnya, dan ini bukanlah masalah penguasa,
ulama, apalagi orang kaya, tetapi ini adalah masalah umat, masalah kita. Wallahu
a’lam
Tidak ada komentar :
Posting Komentar