Senin, 02 September 2013

TES KEPERAWANAN DAN PERANANNYA DALAM PENDIDIKAN ISLAM Meninjau Hukum dan Relevansinya dalam Dunia Pendidikan




لا يستوى اصحب النار واصحب الجنة اصحب الجنة هم الفائزون
Tiada sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni syurga; penghuni-penghuni syurga itulah orang-orang yang beruntung”. QS. Al Hasyr : 20. (Depag RI. 1992. h. 919).
Beberapa minggu terakhir, berita mengenai wacana penerapan tes keperawanan sebagai persyaratan administrasi pendidikan –mulai menengah atas hingga perguruan tinggi- telah menjadi topik hangat yang menghadirkan beragam pernyataan mulai dari masyarakat umum, mahasiswa, pakar pendidikan, psikolog, dokter, hingga menteri pendidikan sekali pun. Tidak bisa dipungkiri, ide yang muncul dari sang pencetus yang tiada lain merupakan kepala Dinas Pendidikan Kota Prabumulih, Sumatera Selatan ini, adalah sebuah ekspresi dari keputus-asaan dalam membentuk sistem pendidikan yang bukan hanya mengedepankan aspek kognitif, tetapi juga aspek afektif hingga psikomotorik yang merupakan tolak ukur pencapaian suatu proses pendidikan, lebih jauh dari itu, munculnya wacana ini terlihat sebagai sebuah ekspresi kekecewaan dan ketakutan dari semakin memburuknya kualitas akhlak generasi muda saat ini.
Sebagai seorang muslim, terlebih yang terlibat aktif dalam dunia akademisi, mahasiswa muslim (apalagi tergabung dalam sebuah lembaga keislaman) mempunyai tanggung jawab secara riil dan moril akan permasalahan yang  tengah melanda dunia pendidikan di negeri ini, terlepas dari kontroversi yang dihasilkannya, mahasiswa muslim dituntut mampu menangkap pesan tersirat yang ada pada permasalahan ini, aspek pendidikan yang begitu vital, tengah diobok-obok dengan mudahnya oleh musuh-musuh islam pada khususnya dan negeri ini poada umumnya, hingga mampu menghadirkan kepanikan dan ketakutan yang sangat terhadap masyarakat pada umumnya, selanjutnya dapat ditebak, segala tindakan yang diambil dan dilakukan dalam keadaan panik dan ketakutan, tidak akan menghasilkan apa-apa kecuali ketidak-teraturan dan kekacauan sistem.

Tes Keperawanan; dari etika hingga diskriminasi wanita
dalam perkembangannya, tes keperawanan yang dianggap sebagai sebuah solusi malah menghadirkan permasalahan lain yang lebih kompleks, bukan hanya dirasa masalah oleh siswi/mahasiswi itu sendiri, tetapi dirasa jadi masalah juga oleh mereka kalangan sosiolog, budayawan, akademisi, hingga kalangan pemerhati agama meski belum “menyentil” para ulama.
Dalam masalah sosial, tes keperawanan dianggap sebagai sebuah diskriminasi model baru bagi kaum perempuan, dimana dengan tes keperawanan, seorang perempuan dengan begitu mudahnya dihargai dengan penilaian dari sesuatu yang sifatnya relatif, mengapa disebut relatif, karena beberapa seksolog senada dalam memberikan pernyataan bahwa selaput dara -yang menjadi objek dalam hal ini- mempunyai ketebalan masing-masing yang berbeda satu sama lainnya, sehingga bagi yang tipis, besar kemungkinan bisa robek hanya karena bersepeda atau berkuda. Maka sungguh dipandang tidak adil jika kehormatan seorang perempuan hanya dinilai dari segi ini, apalagi hingga menentukan hak perempuan dalam pendidikannya.
Dalam sudut pandang lain, jika tes keperawanan dilegalkan dan selanjutnya bertransformasi menjadi sebuah budaya, lagi-lagi ketidakadilan muncul, dalam wawancaranya, menteri pendidikan dan Kebudayaan mengatakan jika ada tes keperawanan maka wajib pula adanya tes keperjakaan, sedangkan keperjakaan sampai saat ini masih belum bisa dibuktikan meski seorang laki-laki kerap melakukan kebutuhan biologisnya.
Dan dari segi etika, Departemen Agama menilai bahwa tes keperawanan tidaklah sesuai dengan etika dan norma, hingga Depag pun mengimbau madrasah untuk tidak melakukan tes keperawanan ini kepada murid-muridnya.
Nu borok di rorojok, nu teuleum disimbeuhan
Bukan Indonesia namanya jika tidak melakukan kekonyolan, ibarat sebuah pepatah orang sunda yang penulis sematkan di atas, bahwa negeri ini tengah kritis dimabuk kepayang dalam kebobrokan akhlak buah dari budaya barat, semua orang tahu betul akan hal itu, namun nyatanya, pemerintah malah memberikan izin terhadap perhelatan dunia dalam mengeksploitasi perempuan, meski banyak kalangan yang menolak, ajang Miss World tetap mendapatkan izin, bahkan promosinya pun kini makin massal dilakukan, lagi-lagi alasan yang dilontarkan adalah masalah pendidikan, dan lagi-lagi ini hanya berkisar di ranah kognitif yang mengedepankan kecerdasan. Mungkin benar jika ajang ini mengandung sebuah keuntungan (bukan kemaslahatan), tetapi madharatnya justru sudah terpampang dengan jelas dan nyata, dan itu lebih besar dari keuntungan yang dijanjikan. Berkaca pada kaidah ushul, maka langkah preventif lah yang paling tepat kita lakukan.
درع المفاسد مقدَم على جلب المصالح
“menghilangkan kemadharatan itulebih diutamakan daripada mendatangkan kemaslahatan”
Sungguh ironis nasib bangsa ini, sadar tidak sadar, negeri ini telah disulap menjadi negeri hawa nafsu, sifat materialistik yang diimpor dari barat melalui globalisasi dan westernisasinya telah menghantar negeri yang luhur akan budi ini menjadi negeri yang mengedepankan kepuasan materi meski kehormatan bangsa taruhannya (dan kehormatan umat tentunya), gelap mata dan buta dunia pun ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan dari kebanyakan generasi bangsa ini, padahal mengenai hal ini rasulallah telah mewanti-wantinya jauh-jauh hari.
“Neraka telah ditutup dengan syahwat (hal yang disukai), dan surga telah ditutup dengan apa yang kalian tidak sukai.” (H.R Al-Bukhari)
Hukum dan Relevansi Tes Keperawatan
Bicara hukum, sesungguhnya bicara terhadap sesuatu yang inti, membawa pembicaranya ke dalam sebuah teritorial khusus yang dijaga dengan pengawalan ketat dan berlapis, ibarat sebuah degung dengan arsip penting nan rahasia, tidak semua orang bisa dengan mudahnya lalu lalang ditempat itu. Namun sejatinya, masalah tes keperawanan bukanlah masalah boleh atau tidaknya dilakukan, pun dengan relevansinya, bukan berkutat antara cocok atau tidaknya tes ini diterapkan, terlebih selaku seorang muslim, bicara hukum dan kecocokan, meskipun pada dasarnya sesuatu itu boleh dilakukan, tetapi tetap saja tidak ada lagi yang menjadi patokan dalam berhukum dan mencocokkan sesuatu kecuali kecocokannya dengan titah Sang Illahi, Allah SWT.
Namun bila harus dipaksa mengomentari relevansi tes ini dengan pendidikan Islam, maka tes ini belum –untuk tidak mengatakan tidak- relevan dengan keadaan saat ini, selain banyak terkandung kemadharatan di baliknya, nyatanya masih banyak cara lain yang mampu memberikan efek lebih nyata daripada sekedar melakukan tes ini, salahsatunya dengan melakukan pendidikan berkarakter. Disamping itu, tes ini hanyalah akan menjadikan sebuah aib (baik bagi pribadi perempuan atau daerah secara umum) dikala hasilnya menyatakan banyak dari persentase yang dihasilkan adalah tidak perawan, sejahat apapun, sebejat apapun, tentunya secara manusiawi tidak ada perempuan yang tidak ingin perawan, alih-alih mengobati, tes ini bisa menjadi bumerang dan membuat harga diri perempuan dengan mudahnya jatuh dihadapan publik. Semua ini sejatinya kembali pada kesadaran dalah bergaul, beribadah, dan beragama. Dan kesadaran itu sekali lagi hanya bisa dibentuk dengan pendidikan berkarakter.
Peran Pesantren dan Perguruan Tinggi dalam pembentukan Pendidikan Berkarakter
Sudah jadi rahasia umum, jika di Indonesia belum mendapatkan sistem pendidikan yang cocok dan sesuai dengan kebutuhannya dalam menciptakan pendidikan berkarakter, dari tahun ke tahun Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan kerap melakukan bongkar pasang kurikulum pendidikan, siswa dan mahasiswa seolah dijadikan tikus percobaan yang bisa “mati” kapan saja akibat percobaan yang terlalu sering namun tidak kunjung mendapatkan yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan. Padahal, untuk tingkat sekolah, negeri ini telah memiliki model yang paling tidak mendekati terhadap apa yang dibutuhkan, bahkan dengan beberapa modifikasi, model ini bisa menjelma menjadi sistem yang benar-benar cocok bagi pendidikan Indonesia. Ya, madrasah dan pesantren adalah model yang original diciptakan berdasarkan kebutuhan sosial rakyat indonesia dan umat islam, dengan pengawasan lebih dari cukup, disertai dengan bimbingan dari tokoh yang lebih kompeten, pesantren sebetulnya sistem yang paling menawarkan pendidikan berkarakter dari pada sistem lainnya yang sudah ada. Adapun peranan Perguruan Tinggi lebih ke ranah penunaian pemahanan yang sudah ada dan didapat pada saat menempuh pendidikan di jenjang sebelumnya, namun nyatanya, di Perguruan Tinggi pun masih banyak PR yang perlu diselesaikan, khususnya dalam hal pembumian pendidikan Al-Quran di Universitas Umum (Negeri dan Swasta).
Berkaca dari artikel Dr. Ahmad Watik mengenai pendidikan Al-Quran di Perguruan tinggi (1999: 127), setidaknya ada empat permasalahan yang harus tetap fokus dibenahi. Pertama, masih banyak dari mahasiswa yang belum mengakui eksistensi Al-Quran sebagai wahyu. Kedua, Al-Quran masih belum menjadi acuan hidup. Ketiga, belum tumbuh pemahaman antara ayat kauniyah dan Qauliyah. Dan keempat, kemampuan dasar yang masih dibawah standar dalam memahami dan menguasai ilmu Al-Quran.
Intinya, permasalahan tes keperawanan adalah permasalahan kesadaran moril dan agama, dan kesadaran akan kedua hal itu hanya bisa terwujud melalui pendidikan, dan masalah pendidikan merupakan masalah yang memerlukan ketegasan sikap dan kemandirian ideologi dalam membangunnya, dan ini bukanlah masalah penguasa, ulama, apalagi orang kaya, tetapi ini adalah masalah umat, masalah kita. Wallahu a’lam   

Tidak ada komentar :

Posting Komentar