Konflik berkepanjangan di Timur Tengah, diakui atau tidak, telah mampu
mengetuk hati setiap orang yang menyaksikannya untuk bisa ikut terlibat memberi
solusi terbaik dalam menyelesaikan
konflik ini, apalagi konflik Timur Tengah semakin menunjukkan perubahannya dari
sekedar konflik politik menjadi sebuah trilogi tragedi kemanusiaan yang
memprihatinkan. Konflik antara Israel-Palestina, Irak-Kuwait, Iran-Irak,
konflik saudara di Sudan, Suriah, hingga konflik antara liga Arab melawan Islamic
States (IS) atau yang terkenal dengan nama ISIS, semuanya seolah menjadi rangkaian episode sebuah drama kemanusiaan yang
telah menelan banyak nyawa tidak berdosa dari anak-anak sampai mereka orang tua berusia lanjut.
Masyarakat pada umumnya beranggapan bahwa konflik Timur Tengah terjadi murni karena faktor agama, sebuah isu yang
telah menjadi rahasia umum hingga tidak sedikit menyebabkan sifat antipati dari
satu agama terhadap agama lain, padahal permasalahan konflik ini bukan hanya melulu
tentang agama[1],
tetapi ada masalah yang lebih kompleks[2],
yang lebih mencakup banyak aspek dimana satu sama lainnya saling berkesinambungan.
Namun terlepas dari kompleksitas penyebab terjadinya konflik, ada beberapa hal
cukup menarik dan tentunya mempunyai andil besar –meskipun secara tidak
langsung- akan terjadinya konflik penyebab tragedi kemanusiaan di Timur Tengah.
Pertama, instabilitas negara-negara Arab pasca masa kekhalifahan Turki Utsmani yang terpecah dalam kungkungan
imperialisme dunia barat. Tanah arab sebagai tuan rumah dari
kedigdayaan Islam selama beberapa abad tentunya sudah terbiasa dengan hidup
penuh kedamaian dan persatuan di bawah naungan kekhalifahan Islam, namun itu
tidak terjadi ketika Turki sebagai patronase Islam takluk di bawah kaki Mustafa
Kemal Attaturk, bahkan negara-negara Arab harus merelakan wilayahnya
terbagi-bagi dan dikuasai oleh Inggris yang merupakan pemenang perang dingin
saat itu, bahkan ada beberapa daerah pula yang sempat dikuasai oleh Uni soviet.
Negara-negara Arab seperti kehilangan tajinya dalam
membangun kembali peradaban ideal yang pernah mereka rasakan sendiri,
sekat-sekat nasionalisme yang ditancapkan Inggris beserta sekutu, sedikit demi
sedikit mulai menampakkan hasil yang menguntungkan mereka, sejak dipelopori
Gamal Abdul naseer, negara-negara Arab seperti tetangga yang dipaksa tidak
peduli –secara sadar tidak sadar- dengan kondisi sekitarnya, dimana keinginan
untuk membantu mengatasi sebuah konflik di negara lain akan sirna
dengan sesaat karena di negara sendiri pun muncul konflik yang tidak kalah
memprihatinkan.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgqTXxTNtS5hl_18Y_c4SpguLM943abmz6YPJX7u2XStQWQfUzwZQZNWSBFRs2dJIcdk47gWS1pVuk3YyugsHcUlwbYPIScFI5_fJ2aZyF8IRuFw8qNri-XE8ziLPtpYWgBNA1V0-E_4dg/s1600/syria+war.jpg)
Ketiga, seperti penulis singgung sekilas di poin pertama, negara-negara Arab seolah dinina-bobokan oleh pihak asing
(baca: barat) dengan terus ditumbuhkan kecintaan akan kemegahan duniawi,
proyek-proyek yang bersifat mega seolah menjadi perlombaan tersirat negara-negara Arab yang tidak kalah gaungnya daripada
jeritan tangis masyarakat sipil yang tertindas oleh kekejaman perang membabi
buta, dari pembangunan gedung-gedung pencakar langit, kompleks industri mewah,
hingga bidding Piala Dunia 2022, menjadi satu dari sekian banyak bukti mulai
membesarnya penyakit wahn[4]
pada diri para pemimpin arab saat ini. Hal ini belum ditambah proyek-proyek di
segala aspek meliputi politik, sosial, militer dan lainnya antara negara-negara Arab dengan pihak AS dan sekutu yang justru
dibanggakan meski semakin menjerat negara-negara Arab untuk tidak bisa berlepas tangan dari
Barat.
Keempat, negara-negara muslim (baca: OKI) terkesan
masih malu-malu dalam menegaskan peran dan sebab keberadaan mereka selama ini yang tidak lain untuk melindungi hak dan kepentingan umat Islam. Padahal sudah
menjadi rahasia umum bahwa negara-negara Arab secara tidak langsung mereka juga
adalah negara-negara Islam, kemunculan OKI pada tahun 1969 pun tidak terlepas
dari konflik politik yang terjadi di Timur Tengah, Palestina khususnya. Bahkan
resolusi-resolusi yang ditawarkan dari mulai tujuan berdirinya OKI sampai OIC 10-years Program of Actions[5] seolah kurang
begitu menggigit dan memberi dampak signifikan yang mampu setiap orang
saksikan, bahkan tidak jarang ada banyak orang yang tidak merasakan keberadaan
atau hanya menganggap OKI sebagai wadah formalitas belaka yang kepeduliannya
begitu kaya di lisan para petinggi negara namun miskin dalam dunia riil.
Kelima, sama halnya dengan OKI (Organisasi
Kerjasama Islam), Indonesia pun dirasa masih belum maksimal dalam memberikan
peran yang lebih krusial dalam membantu menangani konflik Timur Tengah. Hampir
seluruh negara-negara di Timur Tengah telah menjalin
hubungan bilateral dengan Indonesia, pun dengan keterlibatan Indonesia di PBB
yang cukup menunjukkan keberpihakan dan kepedulian Indonesia terhadap
perkembangan dunia Arab, namun lagi-lagi Indonesia hanya mampu
bermain di zona nyaman saja, keberpihakan
itu tidak lantas diikuti dengan cepat melalui aksi-aksi yang lebih nyata meski itu terkesan out of the box. Ini wajar
dirasa, karena untuk saat ini hanya ada dua motif besar dibalik hubungan baik
dan keberpihakan Indonesia pada negara-negara Timur Tengah, politik balas budi
dan kepentingan pragmatis (ekonomi)[6], atau boleh
kita tambahkan satu (meski masih kalah dominan), yakni beban sosial karena
Indonesia adalah negara dengan muslim terbanyak
di dunia.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhOiIYThvrM8fttGTpsuz1uohU2oj2onYV_4-RzfLUtOeYmbtN0pbZfi9GlFgetEkjO9AT9xV8UKWZaDzz5KNIKbVp0nRaGeIlgsKC64rluSpnPVd4G4tkCp1EFz7eWOUZQhTaiQkxzR2A/s1600/arab.png)
Adapun poin keempat dan kelima
adalah permasalahan yang
berasal dari pihak diluar negara-negara Arab yang sebenarnya mampu
berbicara lebih banyak dan lebih nyata dalam mengatasi krisis kemanusiaan di Timur Tengah. Keberadaan
OKI tidak bisa diabaikan karena sejatinya OKI ada untuk Timur Tengah dan umat
Islam, juga posisi Indonesia pun tidak bisa dianggap sepele begitu saja, karena
pada Indonesia-lah harapan besar banyak pihak tergantung untuk terwujudnya
kedamaian di Timur Tengah.
Ada dua resolusi meliputi jangka pendek dan jangka panjang
yang dinilai penting untuk dilaksanakan secara serius oleh pemerintahan
Indonesia. Pertama, meliputi resolusi jangka pendek, Indonesia diharapkan mampu
lebih meningkatkan motivasi dan aksi dalam menegaskan posisinya sebagai negara
sahabat bagi negara-negara Timur Tengah, perlu adanya
peningkatan motivasi dalam membangun hubungan bilateral yang penulis anggap
cukup materialistis menjadi lebih emosional dan kultural. Sampai saat ini, dari
poin-poin yang dijelaskan oleh kementrian luar negeri Indonesia, terlalu banyak
alasan dan keuntungan yang bersifat materi yang menjadi faktor terbesar
adanya hubungan bilateral antara dua pihak (Indonesia dan Timur Tengah),
lagi-lagi ini adalah imbas dari peradaban saat ini yang lebih menekankan aspek
materi sebagai alasan dibalik setiap tindakan, termasuk dalam
kerjasama-kerjasama antar negara baik itu regional, bilateral, multilateral,
bahkan internasional. Indonesia harus lebih pintar dan ikhlas dalam menumbuhkan
kesadaran bahwa Indonesia dan Timur tengah bukanlah sekedar tetangga dalam
bernegara, tetapi saudara dalam beragama, motivasi ini hanya baru tumbuh pada
pribadi-pibadi dan belum berevolusi menjadi mental dan motivasi institusi atau
negara dalam malakukan hubungan diplomasi. Memang kita tidak sedang bicara masalah agama, tetapi inilah virus
selanjutnya yang berhasil dunia barat tularkan dengan peradabannya, agama
seolah menjadi hal terlarang bahkan hanya untuk sekedar menjadi motivasi dalam
melakukan tindakan skala internasional, padahal jika motivasi ini mampu
terbangun, maka tidak aka nada tindakan dan putusan yang bersifat malu-malu
dari Indonesia dalam aksi menjaga kedamaian di wilayah Timur Tengah.
Selanjutnya aksi pun sudah harus dimodifikasi
atau ditingkatkan, tidak lagi hanya terus menerus monoton dengan mediasi,
perundingan, dan bantuan kemanusiaan berupa barang semata. Selain doa yang
lebih gencar, tentunya Indonesia pun harus mulai berani memasuki wilayah
militer dalam mengatasi krisis ini, jika belum ada, maka Indonesia harus berani
mengirim bala tentara
yang katanya terlatih dan terbaik untuk berada disana, jika sudah, maka perlu
adanya penambahan kuantitas dan kualitas hingga keberadaan para tentara disana
bukan hanya sebagai running teks, tetapi
benar-benar memberi peran lain yang lebih menjamin keselamatan warga sipil.
Kedua, resolusi jangka panjang adalah dengan
beraninya Indonesia untuk
menggagas Uni Islamic States, sebuah badan kerjasama Internasional
layaknya apa yang telah dilakukan oleh Uni Eropa[7].
Tanpa mengecilkan peran dan keberadaan OKI, tetapi ada banyak celah yang harus
ditambal dari kebijakan OKI yang justru kekurangan itu menjadi faktor mengapa
Timur Tengah tetap bergejolak sampai saat ini. Penulis tidak memperdulikan
apakah Uni Islamic States itu merupakan evolusi dari OKI atau sebuah badan
kerjasama terpisah, yang pastinya ada beberapa hal yang setidaknya terpenuhi
guna mencapai tujuannya dalam meredam tragedi kemanusiaan di Timur
Tengah. Antara lain:
·
Negara Islam yang
bergabung harus mempunyai komitmen tinggi dalam menjaga nama Islam, menjaga
kehormatan, harta, dan darah umat Islam.
·
Beberapa aspek
perlu dimasukkan seperti militer yang mana ini tidak tercatat dalam visi misi
OKI sebagai aspek negara yang ditingkatkan secara bersama-sama.
·
Adanya
keberanian pada setiap
negara yang bergabung untuk berlepas diri dari kepentingan barat yang bersifat
mengikat dan menjerat.
·
Adanya komitmen
kerjasama global yang mampu diakses secara mudah dalam aspek-aspek penting
seperti Iptek, sosial budaya, pendidikan, militer, hingga
politik.
·
Komitmen paling
penting dan paling menjanjikan, adanya usaha dan keinginan dari setiap negara
anggota untuk mengusahakan terlaksananya syariat islam di wilayah Uni Islamic States, karena
sejatinya, dengan ini pulalah setiap jiwa akan terlindungi dari konflik sepanas
dan seganas apapun.
Selain menjadi resolusi jangka panjang tragedi kemanusiaan
Timur Tengah, Uni Islamic States, atau apapun
namanya, bisa menjadi solusi dari perdebatan keberadaan khilafah Islamiyah[8]
yang malah saat ini memperkeruh konflik di Timur Tengah, Uni Islamic States bisa menjelma
menjadi sebuah kekuatan Islam Internasional yang bersifat kenegaraan tanpa
harus menembus dinding-dinding nasionalisme yang masih kabur hukum namun
terlanjur kuat mengakar pada jiwa masyarakat. Hingga akhirnya Uni Islamic States bukan hanya
menjadi sebuah wadah konferensi biasa layaknya OKI yang hanya merasa dimiliki
oleh para pejabat tertentu, tetapi menjadi sebuah wadah persatuan negara-negara
muslim dalam naungan semangat (Syariat) Islam yang juga dimiliki oleh segenap
rakyatnya. Bukan mustahil, jika dua resolusi ini mampu
Indonesia eksekusi dengan baik[9],
bukan hanya tragedi kemanusiaan di Timur Tengah yang
tertanggulangi, tetapi dahaga setiap jiwa akan adanya kesejahteraan bersama di
dunia akan terwujud, karena ini bukan hanya bicara langkah politik, jauh lebih
dari ada campur tangan janji-Nya untuk kita semua. Wallahu a’lam
[1]
Huntington mengatakan bahwa sumber konflik yang lebih dominan adalah masalah
budaya, karena sejatinya konflik antara Arab (Islam) dengan barat adalah
pertarungan antara dua kebudayaan. (Fergez Fawaz, 1999: 28)
[2]
Hal ini berkaitan dengan hal politik (kebijakan luar negeri) negara terkait,
setidaknya ada tiga faktor yang turut mempengaruhi, yaitu kondisi politik dalam
negeri, kemampuan ekonomi dan militer, serta lingkungan internasional negara
terkait. Ini adalah pendapat William D. Coplin sebagaimana yang kutip oleh Riza
Sihbudi dalam bukunya, Indonesia dan Timur Tengah: masalah dan Prospek (1997).
[3]
Letak strategis Timur Tengah yang menjadi penghubung tiga benua (Asia, Eropa,
dan Afrika) juga menjadi salahsatu alasan terkuat mengapa barat begitu ngotot
untuk menguasai wilayah ini. (Sihbudi dalam Menyandera Timur Tengah, 2007:
xxiv)
[4]
Rasulullah bersabda, “Nyaris orang-orang kafir menyerbu dan membinasakan
kalian, seperti halnya orang-orang yang menyerbu (memperebutkan) hidangan
makanan di atas piring.” Seseorang berkata, “Apakah karena sedikitnya kami
waktu itu?” Beliau bersabda, “Bahkan kalian waktu itu (jumlah umat Islam)
banyak sekali, tetapi kamu seperti buih di atas air. Dan Allah mencabut rasa
takut musuh-musuhmu terhadap kalian serta menjangkitkan di dalam hatimu
penyakit wahn.” Seseorang bertanya, “Apakah wahn itu?” Beliau menjawab, “Cinta
dunia dan takut mati.” (HR. Ahmad, Al-Baihaqi, Abu Dawud).
[5]
OIC 10-years Program of Actions merupakan awal perubahan OKI yang
tidak hanya menfokuskan pada masalah politik, tetapi juga ekonomi perdagangan.
Program Aksi 10 tahun OKI mencakup isu-isu politik dan intelektual, isu-isu
pembangunan, sosial, ekonomi, dan ilmu pengetahuan yang diharapkan dapat
menjawab kesenjangan kesejahteraan umat. Di bidang politik dan intelektual,
dalam 10 tahun OKI diharapkan mampu menangani berbagai isu seperti upaya
membangun nilai-nilai moderasi dan toleransi; membasmi ekstrimisme, kekerasan
dan terorisme; menentang Islamofobia; meningkatkan solidaritas dan kerja
sama antar-negara anggota, pencegahan konflik, penanganan masalah Filipina,
hak-hak kelompok minoritas dan komunitas muslim, dan masalah-masalah yang
dialami Afrika. (http://www.kemlu.go.id/)
[6]
F.S. Northedge menyebutkan ada lima macam kepentingan nasional sebuah negara, pertama,
kepentingan strategis, mencakup keamanan teritorial negara dan pertahanan
perimbangan negara yang menguntungkan. Kedua, kepentingan politik,
mencakup kekuasaan. Ketiga, kepentingan ekonomi, mencakup distribusi
kekayaan internasional. Keempat, kepentingan hukum, mencakup usaha
mempertahankan perjanjian internasional. Dan kelima, kepentingan
ideologis, mencakup falsafah hidup dan idologi politik negara tersebut dalam
mencegak pengaruh buruk dari pihak luar. (Sihbudi, 1997: - )
[7]
Usulan ini seolah baru tapi lama, karena terkait bentuk sebuah kerjasama antar
negara (baca: Uni Islamic States)
telah diusulkan oleh komite Kongres iskandaria pada tahun 1944, kerjasama bisa
berbentuk negara kesatuan, negara federal, atau sebuah konfederasi
negara-negara Islam, yang pasti tidak hanya berbentuk sebuah asosiasi –yang
masih di bawah standar konfederasi- layaknya yang kita lihat pada OKI dan Liga
Arab. Lihat Sihbudi (2007:
111)
[8]
Satu keuntungan dan kemudahan
terbentuknya Uni Islamic States
adalah ketidak-sepakatan beberapa negara Arab dengan sistem demokrasi, karena
sebuah kesatuan negara (Uni), seperti yang disebutkan Wattimena (2007: 184)
sering dituding Barat sebagai sistem yang “defisit demokrasi”.
[9]
Ada banyak keuntungan secara
politik juga bila Uni Islamic States terwujud, dengan kebhinekaan dan
NKRI nya, Indonesia bisa menjadi figur panutan dalam menjalani perbedaan, belum
ditambah peluang Indonesia yang begitu besar untuk menjadi “ibukota” ke-Uni-an
ini, tentunya perubahan ekonomi dan promosi budaya akan sangat terasa disini,
bahkan Indonesia pun bisa menjadi pusat perkembangan Iptek negara-negara
anggota Uni nanti.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar